Biografi: Sutan Takdir Alisjahbana dan Perjalannya Membawa Pujangga Baru
Rubrik kepengarangan yang pertama akan diisi dengan biografi Sutan Takdir Alisjahbana. Sebenarnya tulisan ini terlalu sedikit untuk disebut biografi. Tapi tulisan ini memuat beberapa unsur-unsur tulisan biografi. Jadi kuambil yang tengah-tengah saja dengan menyebutnya ‘biografi singkat Sutan Takdir Alisjahbana’. Teman-teman pasti tidak asing dengan nama Sutan Takdir Alisjahbana bukan? Namanya dan buku-buku karangannya biasanya ada dalam pelajaran bahasa Indonesia topik sastra. Ada salah satu yang menjadi trade mark Sutan Takdir Alisjahbana, yaitu Pujangga Baru. Pada tulisan biografi Sutan Takdir Alisjahbana ini akan dijabarkan mengenai siapa itu Sutan Takdir Alisjahbana, apa saja kaya-karyanya, apa perannya dalam perkembangan kesusasteraan Indonesia, dan tentu saja bagaimana ia menghidupi Pujangga Baru.
Profil Singkat Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana merupakan seorang sastrawan Indonesia angkatan pujangga baru. Beliau lahir pada tanggal 12 Februari 1908 di Natal, Tapanuli Selatan. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di sekolah Hollandsch Indlandsche School, Bengkulu, lalu melanjutkan ke Kweekschool, Bukit Tinggi (setingkat SMP). Beliau lalu merantau ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan tingat SLTA di Hogere Kweekschool. Ia lulus pada tahun 1928 pada usia 20 tahun.
Setahun setelah lulus, Sutan Takdir Alisjahbana menikah dengan Raden Ajeng Rohani. Dari pernikahannya, mereka memiliki tiga anak. Tahun 1935 adalah duka bagi Takdir. Istrinya meninggal dunia. Beberapa tahun setelahnya, ia kembali dekat dengan seorang perempuan bernama Sugiarti. Akan tetapi, hubungan keduanya tidak direstui oleh pihak keluarga Sugiarti karena Takdir saat itu seorang duda beranak tiga. Akhirnya, pada 1945, tiga bulan sebelum jepang menyerah, mereka kawin lari. Takdir dan Sugiarti memiliki dua anak. Akan tetapi, Takdir kembali dihadapkan pada duka ketika Sugiarti terkena serangan jantung dan seketika wafat pada 1952. Karena memiliki banyak pekerjaan, Takdir merasa memerlukan seorang pendamping untuk mengurus anak-anaknya. Oleh karena itu, ia berniat untuk menikah lagi. Kali yang ketiga, pada tahun 1953, Sutan Takdir Alisjahbana menikah dengan perempuan Eropa yang bernama Margret Axer, seorang doktor bahasa dan sastra Jerman.
Kiprah dan Karya
Ia berkiprah sejak muda. Pada usia 14 tahun, Takdir telah menjadi anggota Jong Sumatra. Pada usia 22 tahun, ia menjadi pegawai Balai Pustaka. Tempat ini pula yang menumbuhkan perhatiannya pada bahasa dan sastra Indonesia. dua novelnya, Layar Terkembang dan Dian yang Tak Kunjung Padam ditulis ketika ia bekerja di sana.
Karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana yang cukup populer antara lain: Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1937), dan Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941). Selain itu, Takdir juga menerbitkan buku puisi seperti Tebaran Mega (1935), buku nonfiksi, menjadi editor, dan penerjemah berbagai buku. Buku yang telah diterjemahkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana seperti Nelayan di Laut Utara karya Pierre Lotti.
Baca Juga: Alasan untuk Membaca Buku yang Sama Berulang Kali
Pada saat pendudukan Jepang, bahasa Indonesia mulai boleh digunakan setelah sebelumnya dilarang oleh Belanda. Momen ini dimanfaatkan oleh Takdir untuk mendirikan Komisi Bahasa Indonesia. Komisi ini bertugas untuk mencari istilah bahasa Indonesia di berbagai lini, mulai dari kedokteran, kimia, biologi dan matematika. Tidak tanggung-tanggung, masing bidang dibawahi oleh ahlinya. Kala itu kosakata bahasa Indonesia masih kurang.
Komisi yang dibentuknya membawa peran besar dalam perkembangan kazanah bahasa dan sastra Indonesia. Akan tetapi hal ini menjadi ancaman bagi penjajah Jepang. Takdir dianggap menyusun rencana propaganda kemerdekaan. Akhirnya, Takdir ditangkap dan dipenjara. Komisi Bahasa akhirnya kehilangan ruhnya. Akhirnya perjuangan mereka untuk terus mengembangkan bahasa Indonesia harus terhenti.
Bagi Takdir, bahasa adalah penjelmaan pikiran. Bahasa akan melahirkan gagasan dan peradaban. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus memiliki tatanan yang baik dan memliki identitas agar dapat mewujudkan peradaban yag baik.
Takdir tidak hanya menulis karya sastra. Ia juga merupakan orang pertama yang membuat tata bahasa Indonesia. Sebelum itu, tata bahasa dibuat oleh ahli-ahli Belanda. Tetapi, pemikirannya menuai kritik oleh pakar bahasa karena dianggap menghilangkan kosakata etnik. Takdir juga menentang beberapa aturan EYD yang tidak sesuai dengan prinsipnya dalam berbahasa.
Ia pernah mengalami beberapa masalah terkait karyanya yang membuatnya kecewa. Novelnya yang berjudul Tak Putus Dirundung Malang banyak diedit oleh Noer Sutan Iskandar sehingga menghilangkan ciri khas bahasa melayu dalam tulisan Takdir.
Sutn Takdir Alisjahbana dinilai sebagai orang yang konservativ dan kurang bisa mengapresiasi hal-hal baru dalam sebuah karya. Seperti ketika menganggap karya Ernest Hemingway yang berjudul The Old Man and The Sea sebagai karya yang pesimistis, juga kekecewaannya terhadap karya krya Sutardji Calzoum Bachri dan Putu Wijaya yang dianggap sebagai karya kontemporer yang kehilangan arah. Takdir dianggap terlalu mengagung-agungkan semangat renaisans meskipun pengertian renaisans yang dimaksud Takdir juga dinilai masih abstrak. Kendati demikian, pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana tidak hangus, dan tetap menjadi pembahasan hingga sekarang.
Pujangga Baru
Pujangga Baru merupakan majalah sastra dan budaya yang menjadi ikon dari Sutan Takdir Alisjahbana. Malajah ini didirikan Sutan Takdir Alisjahbana bersama Armijn Pane dan Amir Hamzah pada Juli 1933 saat mereka masih berusia awal 20. Ia mendirikan majalah Pujangga Baru meski dilanda ketidakpastian akan masa depan majalah ini karena minat rakyat Indonesia terhadap bahasa dan kesusastraan yang cukup membuat pesimis. Pada saat pertama kali berdiri, majalah ini tidak bernama Pujangga Baru tapi Bahasa dan Sastra, lalu berganti menjadi Sastra, lalu berganti menjadi Poedjangga Baroe (Pujangga Baru).
Perjalanan Pujangga Baru tidak selalu mulus. Dalam perkembangannya, majalah ini mengalami banyak pasang surut. Sebagai media yang fokus pada bidang sastra dan budaya, Pujangga baru harus bisa membaca selera pasar. Pada awalnya, pelanggannya tidak lebih dari 110 orang. Tetapi, selama setahun ke depan, majalah ini berhasil mendapatkan banyak pembaca dari kalangan intelektual muda. Majalah ini mati setelah Jepang menduduki tanah air pada 1942. Selama itu, oplah Pujangga Baru adalah 500 eksemplar per edisi, dengan pelanggan tidak lebih dari 150 orang. Jika dihitung-hitung dengan modal yang dikeluarkan, Pujangga Baru mengalami kerugian. Akan tetapi, kerugian tersebut ditutup oleh gaji Takdir. Mempertahankan idealisme yang berlainan dengan selera masyarakat memerlukan pengorbanan. Jika sudah terlanjur idealis, orang biasanya tidak lagi perhitungan dengan untung rugi. Yang penting, bagaimana gagasannya bisa tersampaikan.
Pada tahun 1948, Pujangga Baru kembali berdiri dengan suasana baru. Amir Hamzah tak lagi bergabung dengan Pujangga baru karena telah meninggal. Ia dibunuh atas nama revolusi sosial oleh sekelompok pemuda di Sumatra. Pada terbitan yang baru, Pujangga Baru memiliki lebih banyak redaktur, seperti R. Nugroho dan L.S. Sitorus. Lalu sebagai pebantu redaksi ada Soewarsih Djojopoespito, Idrus, Hazil Tanzil, Rivai Avin,Asrul Sani, dan Chairil Anwar.
Majalah ini akhirnya benar-benar berenti terbit pada tahun 1953. Bukan karena merugi dan kehilangan pasar. Justru karena pasca kemerdekaan, isi Pujangga Baru semakin luas dan tidak ada bedanya dengan majalah lain. Pada saat terakhir majalah tersebut diterbitkan, rubrik-rubrik masih menyala dan lengkap. Akan tetapi, karena barangkali Pujangga Baru yang telah banyak diisi oleh sastrawan angkatan 45 itu tidak sesuai dengn idealisme Takdir, maka Takdir memutuskan untuk menyudahi perjalanan Pujangga Baru.
Meski Pujangga Baru sudah tidak aktif, Sutan Takdir Alisjahbana tidak berhenti berkiprah untuk memajukan bahasa, sastra, seni, dan budaya. Hidupnya Balai Seni Toyabungkah adalah salah satu wujud kepedulian Takdir terhadap kebudayaan Indonesia. Sutan Takdir Alisjahbana wafat pada 17 Juli 1994 dan dimakamkan di sekitar Bogor. Seakan ruhnya juga ada di Balai Seni, Balai Seni tersebut juga ikut redup setelah Sutan Takdir Alisjahbana wafat.
Referensi
Pusat Data dan Analisis Tempo.2019.Memoar Sutan Takdir Alisjahbana.____:Tempo Publishing
Pusat Data dan Analisis Tempo.2019.Sutan Takdir Alisjahbana-Sang Pujangga Baru.____:Tempo Publishing
Badan Pengembangan dan Pembinaan BahasaSutan Takdir Alisjahbana http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/
Satu Komentar
Ping Balik: