Layla, Seribu Malam Tanpamu
fiksi,  ulasan

Novel Layla, Seribu Malam Tanpamu: Ketika Seorang Sufi Jatuh Cinta

Layla, Seribu Malam Tanpamu – Novel ini diterbitkan dengan desain sampul bergambar seorang perempuan yang menyingkap tirai. Tirai tersebut divisualisasikan sebagai malam hari yang ditandai dengan gambar bulan sabit dan warna langit gelap. Perempuan itu memakai gaun panjang warna biru yang ujungnya menyatu dengan laut pada visual malam hari. Di balik tirai malam yang disingkap oleh perempuan itu adalah siang hari yang ditandai dengan gambar langit biru dan awan putih, serta padang rumput hijau.

Lalu di tengah-tengah sampul itu lah tertulis Layla, Seribu Malam Tanpamu. Kata “Layla” ditulis dengan huruf lebih besar dan berwarna kuning. Adapun “Seribu Malam Tanpamu” ditulis dengan huruf kecil di bawahnya dengan warna putih. Kombinasi judul dan desain sampul ini menarik karena memberikan gambaran abstrak dari isi novel.

Baca juga: ulasan novel Geni Jora

Identitas Buku

Judul                               : Layla, Seribu Malam Tanpamu

Pengarang                      : Candra Malik

Penerbit                          : Bentang Pustaka

Tahun terbit                    : 2017 (cetakan pertama)

Tebal buku                      : 261 halaman

Sinopsis

Wallaili Wannahar (Lail) adalah seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di sebuah perguruan tinggi di Malang. Selain itu Lail juga seorang pemuda yang menggeluti tasawuf. Ia berguru ke banyak mursyid tarekat. Ia juga seorang murid dari Abah Suradira, kawan seperguruan Bapaknya. Selama menjadi murid Abah Suradira, Lail banyak berubah. Ia kini telah mendapat pelajaran tentang hakekat keimanan, kehidupan, dan jati diri. Ia juga belajar tentang kebatinan. Bahkan ia diberi kemampuan weruh sakdurunge winarah, tahu sebelum diberi tahu. Dan ketika ia telah mengetahui rahasia kesejatian hidup, ia justru merasa semakin berat menjaga ilmu yang telah ia pelajari. Ia tidak diperbolehkan menceritakan apa yang telah ia pelajari kepada orang lain kecuali telah diberi izin oleh gurunya.

Meski Lail mempelajari ilmu tasawuf, ia juga seorang anak muda pada umumnya yang bisa jatuh cinta dan jatuh rindu. Ia jatuh cinta pada Nel Layla Amor, perempuan yang ia jumpai di pengajian Buya Munir. Perempuan yang namanya sama dengan yang ia khayalkan. Akan tetapi jatuh cinta kepada Layla membawa konsekuensi untuk Lail. Ia justru harus kehilangan jejak Layla di saat ia benar-benar merindukannya. Forum pengajian yang membuat Lail melakukan kesalahan karena membeberkan kesufiannya itu adalah pertemuan ke-dua sekaligus terakhir. Layla yang pergi begitu saja dari majelis dan tak terkejar jejaknya oleh Lail yang saat itu menjadi narasumbernya.

Masalah ini menjadi semakin pelik ketika orang tua Lail justru ingin Lail menikah dengan Kinasih, adik angkat Lail. Sementara mereka telah lama berpisah jarak semenjak Lail kuliah di malang dan Kinasih bekerja di Jakarta. Sejak ia melihat Kinasih menggandeng tangan pria bule, kabar adik angkat yang disayanginya itu sudah lama tak terdengar. Dan sejak saat itu, Lail mulai menutup pintu hatinya untuk Kinasih, perempuan yang dulu pernah ia sukai. Dan ternyata setelah bertahun-tahun tak terdengar kabar, Kinasih pulang dengan membawa seorang anaknya yang masih bayi. Sebentar lagi Kinasih akan menyusul suaminya di Brisbane.

Di tengah berbagai kemelut batin yang Lail rasakan, ia justru diberi amanah untuk meneruskan ajaran tasawuf setelah gurunya, Abah Suradira, meninggal dunia. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, Bibi Tijah, istri gurunya itu mengungkapkan rahasia yang selama ini dipendam rapat-rapat. Ia menunjukkan foto sepasang bayi kembar yang tak lain adalah foto Lail dan saudara kembarnya, Lailatun Nahar. Ia seperti mendapat jawaban mengapa selama ini ia merasa dirinya terbelah dua, tapi sekaligus terkejut karena selama ini ia memiliki saudara kembar. Dan saudara kembar itu bernama Laila. Ia lalu teringat dengan perempuan yang mengisi hatinya, Layla Amor. Mereka berdua memiliki nama yang sama, dan keduanya sama-sama tak diketahui rimbanya. Lail pun bertanya-tanya, apakah Layla dan Laila adalah orang yang sama? Karena asal usul Layla, dan kisah terpisahnya saudara kembar Laila memiliki kesamaan.

Kehidupan Orang-Orang Sufi

Novel Layla, Seribu Malam Tanpamu merefleksikan Kehidupan orang sufi melalui tokoh-tokohnya. Yang paling banyak diceritakan adalah Lail, Abah Suradira, dan Sukarsa. Novel ini menggambarkan kehidupan orang-orang sufi yang penuh dengan kesahajaan. Mereka tidak menampakkan identitas kesufiannya di depan orang lain. Mereka menjalani hidup seperti orang-orang biasa pada umumnya. Seperti ketika Lail mendapatkan jubah dari Mawlana Syekh Hisyam Al Kabani. Ia memakai jubah itu karena jubah tersebut merupakan simbol kesufian. Akan tetapi ia segera tersadar bahwa hakikat keimanan tidak dipandang dari pakaian. Jubah tersebut justru menjebak jiwa dan raga Lail ke dalam kejumudan.

“Ternyata benar kata Abah Suradira, menjadi sufi bukan tentang bagaimana sekadar berbaju. Namun, bahkan lebih tentang telanjang di hadapan Allah. Tidak membawa apa-apa selain iman.” (hlm. 96).

Mereka tidak menunjukkan kesalehan mereka di hadapan manusia. Kadang mereka memilih berlagak seperti orang bodoh dan tidak berilmu. Itu semua demi jati drinya dari hadapan orang lain. Karena sejatinya mereka hanya menginginkan pengakuan Tuhan atas dirinya.

Novel Layla, Seribu Malam Tanpamu merepresentasikan kehidupan sufi yang tidak berbeda dengan kehidupan orang-orang pada umumnya. Sufi juga manusia. Seperti Lail yang jatuh cinta kepada Layla, dan dibuat galau olehnya. Juga seperti Sukarsa, bapak Lail, yang sering mendapat omelan dari istrinya karena jarang di rumah. Novel ini juga menjawab stereotip masyarakat awam terhadap para penganut sufisme. Seperti anggapan bahwa orang sufi adalah melakukan kesesatan, ritual ibadah yang dianggap syirik, kejadian di luar nalar, juga anggapan bahwa orang-orang sufi juga terkesan menjauh dan tak peduli dengan dunia.

Baca juga: resensi novel Perempuan Berkalung Sorban

Ketika Seorang Sufi Jatuh Cinta

Kita telah menjumpai banyak roman dengan nuansa religi, atau novel religi romantis. Novel Layla memang memuat aspek spiritual dan cinta. Akan tetapi, ada yang membuat novel ini berbeda dengan novel roman spiritual yang sudah umum. Dibanding membahas masalah syariat, seperti kebanyakan novel religi, novel ini lebih banyak membahas tasawuf.

Tokoh novel ini bukan jatuh cinta pada pujaan hatinya karena telah melihat kesalehan sang pujaan hati. Bukan juga karena berada dalam sebuah organisasi keagamaan yang sama. Tidak juga karena dijodohkan oleh orang tuanya dengan sesama anak kiai. Lail, tokoh utama novel ini jatuh cinta kepada Layla sejak pertama kali melihatnya. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Peristiwa seperti ini memang klise pada orang-orang yang jatuh cinta. Tetapi dengan menyajikan peristiwa klise tersebut, novel ini justru terkesan tidak mengelak dari realita bahwa jatuh cinta pada pandangan pertama itu ada, bahkan dialami seorang sufi sekalipun.

Cinta dipandang sebagai hal yang wajar dan manusiawi. Tidak dipandang sebagai sesuatu yang menyebabkan dosa. Kepada Abah Suradira, Lail menceritakan perasaannya ketika pertama kali berjumpa dengan Layla. Abah Suradira yang pernah muda dan juga pernah jatuh cinta memahami perasaan Lail. Ia memaklumi apa yang dirasakan Lail. Abah suradira menjelaskan menjelaskan bahwa jatuh cinta adalah hal yang wajar bagi siapapun bahkan nabi sekalipun.

“‘Jadi, seorang salik boleh jatuh cinta, Bah?’

‘Jangankan salik. Bukankah para nabi dan rasul juga beristri? Apakah kamu mengira mereka berumah tangga tanpa cinta?’

(hlm. 81)

Umumnya, orang-orang yang memutuskan untuk mempelajari ilmu-ilmu spiritual terkesan menolak terhadap cinta kepada kekasih hati. Seolah-olah jika seseorang ingin benar-benar mencintai Tuhannya, maka ia harus meninggalkan cinta kepada sang pujaan hati. Akan tetapi, dalam novel ini, cinta kepada kekasih disikapi sebagai hal yang wajar dan manusiawi. Untuk mencintai Tuhan, tak perlu sampai mengorbankan cinta pada kekasih. Cinta itu sendiri didatangkan oleh Tuhan.

“Cinta itu rahasia Allah yang sangat rahasia. Kita tidak pernah benar-benar tahu mengapa kita jatuh cinta. Tidak ada yang salah dari jatuh cinta dan tidak ada yang benar dari jatuh rindu.”(hlm. 122).

***

Meksipun Novel Layla, Seribu Malam Tanpamu adalah cerita fiksi, novel ini seperti mengungkap rahasia orang-orang sufi. Beberapa tokoh dalam cerita ini juga diambil dari tokoh nyata. Seperti Syekh Subakir, Ra Lilur, Abah Anom Suryalaya, Umbu Landu Paranggi, dan Maulana Syekh Hisyam al Kabbani. Novel ini diceritakan dengan gaya bahasa yang indah. Tidak mengherankan, karena selain penulis prosa, Gus Can juga seorang penyair. Nilai-nilai tasawuf ada dalam cerita ini menjadikan cerita ini lebih unik dan menarik.

Apakah kamu pernah membacanya juga? Menurutmu bagaimana?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *