novel wuthering heights emily bronte
fiksi,  ulasan

Review Novel Wuthering Heights – Emily Bronte

Review Novel Wuthering Heights karya Emily Bronte – Wuthering Heights adalah novel klasik yang ditulis oleh Emily Bronte, seorang sastrawan asal Inggris. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1847. Sebenarnya ulasan novel ini untuk diikutkan Tantangan Baca Klasik Gramedia bulan November lalu. Tetapi, berhubung novel ini baru  kemarin selesai kubaca, akhirnya baru bisa kuulas bulan Desember. Salah strategi aku. Harusnya aku membaca novel Wuthering Heights awal bulan, bukan akhir bulan. Meskipun sudah terlambat, tapi di instagram tetap ku-posting dengan tagar #bacaklasik. Sudah terlanjur dibaca dengan susah payah, sayang kalau tidak diselesaikan dan diulas.

Terkait: ulasan novel The Professor-Charlotte Bronte

Identitas Buku

Judul: Wuthering Heights

Pengarang: Emily Bronte

Penerjemah: Lulu Wijaya

Tahun terbit: April 2021 (cetakan keempat)

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Ukuran buku: 488 hlm; 20 cm

ISBN: 9786020646916

Sinopsis Novel Wuthering Heights-Emily Bronte

Mr. Earnshaw, seorang tuan tanah di Wuthering Heights pulang dengan membawa Heathcliff, anak yang ia temukan di jalan. Tetapi, kehadiran Heathcliff tidak disambut baik oleh keluarganya. Hindley dan Catherine, anaknya membenci Heathcliff karena cemburu akan kasih sayang yang didapat Heathcliff dari sang ayah. Istrinya tidak peduli padanya. Heathclif masih mendapat perindungan Mr. Earnshaw selama ia hidup. Akan tetapi, ketika Mr. Earnshaw meninggal, Heathcliff mendapat perlakuan tidak adil oleh anak-anak Earnshaw. Tetapi, Catherine telah mulai akrab dengan Heathcliff, tidak seperti Hindley.

Keakraban Catherine dan Heathcliff tumbuh menjadi bibit-bibit cinta ketika mereka telah dewasa. Akan tetapi, Heatclif harus  menahan sakit hati selama hidupnya karena Catherine yang dicintainya lebih memilih menikahi Edgar Linton dari Thrusscross Grange yang memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bagi Catherine yang sebenarnya mencintai Heathcliff tapi labil, menikah dengan Heathcliff akan merendahkan kedudukannya. Oleh karena itu, ia menikahi Edgar Linton dengan tetap mencintai Heathcliff

Sudah sakit hati diperlakukan tidak adil, sakit hati ditinggal nikah pula. Rasa sakit hati tersebut membuat Heathcliff berniat balas dendam dengan memutarbalikkan keadaan dan kedudukan. Ia lama menghilang dan kembali sebagai pria yang berpendidikan dan bermartabat. Sebagai balas dendam, ia berniat mengambil harta mereka dengan cara yang tidak mereka duga.

Ia tetap mencintai Catherine. Heathcliff pun beranggapan bahwa sebenarnya Catherine tetap mencintainya. Oleh karena itu, Linton, yang bucin terhadap Catherine tidak bisa menolak kunjungan Heathcliff ke rumahnya hingga Isabella, adik Linton pun jatuh cinta padanya. Akan tetapi, Heathcliff hanya cinta pada Catherine, tidak pada Isabella. Isabella yang terlanjur bucin tidak berpikir panjang ketika memutuskan untuk menikahi Heathcliff yang tdak pernah mencintainya. Pernikahannya dengan Heathcliff hanya membuat hidupnya menderita.

Masalah semakin rumit ketika satu persatu tokoh meninggal dan meninggalkan harta warisan dengan ahli waris yang masih di bawah umur. Akan tetapi, Heathcliff yang menyimpan dendam menyambutnya dengan seringai di dalam hati.

Review Novel Wuthering Heights – Emily Bronte

Novel ini berjudul Wuthering Heights. Wuthering Height adalah nama sebuah tanah di sebuah pedesaan, tempat tinggal keluarga Earnshaw. Terjemahan dari judul ini juga tetap seperti judul aslinya. Tidak diterjemahkan ke dalam istilah lain. Jika aku yang jadi penerjemah, sepertinya aku akan menejemahkan judulnya menjadi “Kesumat”. Karena pada akhirnya, Wuthering Heights dihuni oleh dendam kesumat dan kebencian. Ceritanya juga berisi dendam yang dipelihara dan membawa banyak masalah. Tapi syukurlah bukan aku penerjemahnya. Tentu saja tidak semudah itu menerjemahkan judul cerita.

Sungguh kelam dan suram sekali nuansa novel ini. Sudah benar memang ilustrasi sampulnya. Hitam dalam gelap malam, hanya cahaya bulan yang menjadi lentera. Tampak dua sosok, laki-laki dan perempuan berdiri di perbukitan. Nun jauh di seberang sana ada sebuah bangunan rumah. Aku belum bisa menebak siapa dua sosok dalam ilustrasi tersebut. Apakah Heathcliff dan Catherine, atau Nelly dan Joseph (yang ini sepertinya tidak mungkin), atau Mrs. Dean dan Mr. Lockwood, atau Catherine dan Linton, atau malah Catherine dan Hareton? Kalau menurut teman-teman sosok itu siapa? Tapi kukira itu Heathcliff dan Catherine.

Tokoh-tokohnya sungguh mengesalkan, terutama Heathcliff. Tidak pernah aku sekesal ini dengan tokoh-tokoh cerita. Pada awalnya aku kasihan dan simpati pada Heathcliff. Akan tetapi, setelah Heathcliff memutuskan untuk memulai pembalasan dendamnya, aku tidak lagi bisa membela Heathcliff meski dia sebenarnya korban dari kejahatan yang ia terima di masa lalu. Kelakuan tokoh-tokohnya, terutama Heathcliff membuatku geleng-geleng kepala.

Ada banyak tokoh-tokoh di sini. Jika diminta untuk menyebutkan siapa tokoh utamanya, hmmm … aku merasa perlu menghitung berapa kali tokoh-tokoh tersebut hadir dalam setiap bab dan peristiwa. Karena beberapa tokoh memang berperan penting dalam membentuk jalan cerita. Apalagi cerita ini dituturkan dari sudut pandang orang pertama pelaku sampingan. Cerita ini dituturkan oleh tokoh Lockwood, penyewa rumah di Grange. Mr. Lockwood meminta Mrs. Dean, pelayan di rumah Wuthering Height dan Grange untuk menceritakan kisah hidup penghuni rumah sewanya yang mebuatnya penasaran. Jadi, bergantian antara “aku” dari Lockwood dan “aku” dari Mrs. Dean. Tapi, menurutku tokoh utamanya adalah Heathcliff. Di antara tokoh-tokoh lain, ia paling banyak berperan dalam cerita. Tanpa Heathcliff, cerita tidak akan berjalan meskipun kehadiran Heathcliff membuat cerita menjadi gelap, seperti wataknya yang memang gelap.

“…, sejak kecil dia memang suka memikirkan hal-hal gelap, dan meminati hal-hal aneh. Dia mungkin agak terobsesi seperti orang tidak waras dengan pujaan hatinya yang sudah tiada itu; …” (hlm. 468).

Begitu yang dituturkan Mrs. Dean kepada Mr. Lockwood tentang Heathcliff.

Ketika baru sampai bagian awal, aku telah dipusingkan dengan silsilah keluarga tuan rumah Grange dan Heights. Kekerabatan mereka hanya berputar di lingkaran keluarga Linton, Earnshaw dan Heatcliff. Cerita ini malah tampak seperti anak-anak Linton (pemilik Grange) yang cengeng vs anak-anak Earnshaw (pemilik Wuthering Heights) yang tempramental. Segala permasalahan yang ada di keluarga Earnshaw diselesaikan dengan fisik. Tapi, setelah melewati bab-bab selanjutnya, permasalahan cerita lebih dari itu.

Cinta, Dendam, dan Hukum yang Merugikan Perempuan

Ada yang menyebutkan bahwa Wuthering Heights adalah cerita tragedi. Ada juga yang menyebutnya cerita horor atau gotik. Aku juga setuju dengan yang menyebutnya dark romance. Novel ini memang mengusung romansa abad sembilan belas di dalamnya. Akan tetapi, penulis tidak hendak memberikan cerita romansa yang manis dan memberikan bunga di hati pembacanya. Memang cerita ini memuat unsur romantis. Akan tetapi ketika pembaca baru saja menemukan sedikit hal-hal yang manis, penulis buru-buru menjungkirkan pembaca ke dalam kesuraman yang ada dalam peristiwa berikutnya. Cinta dalam novel ini begitu gelap dan sama sekali tidak manis. Penuh dengan kesengsaraan. Penuh dengan campur tangan pihak lain.

Novel ini mencampurkan cinta dan benci dalam tokoh-tokohnya. Catherine menikahi Linton tapi masih menyebut-nyebut Heathcliff. Ia bahkan meminta Linton untuk menerima Heathcliff sebagai teman baik. Linton yang membenci Heathcliff tidak bisa menolak kunjungan Heathcliff ke rumahnya karena ia sangat mencintai Catherine dan tidak ingin membuatnya marah. Kemarahan Catherine cukup menyeramkan. Di sini Catherine menjadi tampak labil. Rupanya penyakit delirium Catherine menjadi faktor penyebabnya. Ia menjadi emosional, kebingungan, dan merasa menderita dengan penyakit dan perasaannya. Keadaan Catherine dan tempramen Heathcliff yang aneh dan gelap menjadi perpaduan sebuah hubungn yang sulit dipahami. Ungkapan-ungkpan mereka bercampur antara benci dan cinta. Meski catherine mencintai Heathcliff dan sebaliknya, akan tetapi ngkapan cinta mereka seperti ungkapan kebencian. Kebencian karena cintanya tak sampai barangkali?

Kau mencintaiku – lalu kau punya hak apa meninggalkanku? Hak apa – jawab aku – untuk merasakan cinta yang tidak seberapa kepada Linton itu? Karena kesengsaraan dan kebejatan, kematian, dan apapun yang bisa dijatuhkan Tuhan maupun Iblis mestinya takkan bisa memisahkan kita, tetapi kau, atas kemauanmu sendiri, melakuannya. Aku tidak mematahkan hatimu – kau yang mematahkannya; dan dengan mematahkannya, kau telah mematahkan hatiku.” (hlm. 233).

Harta, kedudukan, dan hak milik atas tanah menjadi masalah utama yang menghalangi cinta itu bersemi dengan semestinya. Hukum mengenai hak milik atas properti yang tidak menguntungkan perempuan menjadi salah satu hal yang disorot dalam cerita ini. Seperti yang kita ketahui, cerita ini terbit pada era Victoria. Pada masa tersebut, perempuan yang telah menikah kehilangan hak milik atas properti mereka. Semua yang dimilki perempuan itu menjadi milik suaminya. Hal ini karena perempuan dianggap sebagai makhluk emosional yang tidak mampu mengelola harta dengan baik. Istri tidak boleh menggunakan hartanya tanpa seizin suaminya.

Hal ini dituang dalam percakapan Linton muda (keponakan Edgar Linton) dan Mrs. Dean ketika Linton akan menikah dengan Catherine Linton (anak Mr. Linton dan Catherine Earnshaw. Hayo, bingung gak tuh), sementara ayah Catherine sedang sekarat. Otomatis, warisan ayah Catherine akan jatuh ke tangan Linton.

…Paman sedang benar-benar sekarat, akhirnya. Aku senang, karena aku akan menjadi pemilik Grange setelah dia tiada – dan Catherine selalu membicarakannya seolah itu rumahnya. Itu bukan rumah Catherine! Itu milikku – Papa bilang segala yang dimiliki Catherine adalah milikku …” (hlm. 404).

Begitu pula ketika aku merasa miris terhadap nasib pernikahan Isabella Linton. Pikirku, mengapa penulis tidak membuat Isabella menggugat cerai suaminya yang telah berlaku kasar dan kejam. Ternyata memang hukum saat itu juga menyulitkan perempuan untuk menuntut perceraian. Hukum juga membolehkan suami untuk memukul atau memaksa istrinya yang dianggap membangkang. Betapa merugikannya aturan hukum pada masa tersebut. Meskipun Isabella tidak tahan dengan perlakuan kasar Heatcliff, ia tak bisa megajukan perceraian.

…tapi, percayalah, harimau atau ular berbisa pun tidak bisa membangkitkan rasa takut begitu besar ke dalam diriku seperti yang dibangkitkan olehnya. Dia memberitahu aku tentang penyakit Catherine, dan menuduh kakakku sebagai penebabnya, dan dia berjanji bahwa aku akan menderita sebagai wakil Edgar, sampai dia bisa menangkap Edgr sendiri. Aku sungguh membencinya – aku amat putus asa – betapa bodohnya aku selama ini!” (hlm. 210).

Begitu isi surat Isabella Linton kepada Mrs. Dean. Ia mengira kebaikan hatinya akan melunakkan hati Heatclif dan membuat Heathcliff mencintainya. Akan tetapi, hati Heatchcliff yang keras tak pernah berubah, dan tak pernah bisa mencintainya.

Dia membayangkan aku sebagai pahlawan asmara, dan mengharapkan kesabaran tak berbatas dar pengabdianku yang ksatria. Aku hampir tak menganggapnya sebagai makhluk yang rasional, sebab dengan keras kepala dia ingin membentuk bayangan indah-indah tentang watakku dan bertindak berdasarkan kesan-kesan keliru yang disimpulkannya sendiri. Tapi, akhirnya, kurasa dia mulai mengenalku…” (hlm. 217).

Heathcliff tetap mencintai Catherine Earnshaw, istri Edgar Linton. Malang sekali nasib Isabella. Baik adik maupun kakak sama-sama bucin yang pasangannya justru mencintai pasangan saudara iparnya (pusing kan? Sama, aku juga).

Gambaran-gambaran mengenai hukum yang merugikan perempuan tersebut menjadi semakin menggeramkan ketika dituangkan ke dalam cerita ini oleh penulis. Untuk kepiawaian penulis dalam merefleksikan hal ini, aku angkat topi kepada Madam Emily. Penulis berhasil membuatku sebagai pembaca turut larut dalam emosi yang ada dalam cerita. Aku setuju dengan salah satu bookstagramer yang mengatakan kalau buku ini lebih baik dibaca ketika suasana hati sedang baik atau netral.

Terkait: novel Perempuan Berkalung Sorban

Alur cerita ini sungguh luar biasa menurutku. Banyak plot twist yang tidak terduga. Aku heran, bagaimana penulis bisa mendapatkan ide cerita yang nano-nano ini. Sayangnya, penulis tidak menjelaskan mengapa Mr. Earnshaw harus mengambil Heatcliff menjadi anak angkatnya dan darimana ia menemukan anak itu. Penulis juga tidak menjelaskan bagaimana Heathcliff bisa berubah menjadi pemuda yang berpendidikan dan kaya setelah menghabiskan masa kecil dan remajanya dengan penindasan dan penghinaan. Tetapi penulis dengan cukup cerdik menjelaskan lewat Mrs. Dean yang diberi tanggung jawab menuturkan cerita ini, bahwa ia juga tidak tahu bagaimana Heathcliff berubah. Seolah ini adalah bentuk pelarian penulis dari tanggung jawab untuk memberikan penjelasan kepada pembaca dan sengaja membiarkan pembaca mengira-ngira sendiri.

Tidak terasa sudah 1500 kata lebih ulasan ini. Padahal masih banyak yang ingin kubahas. Ulasan ini memang sedikit panjang. Tapi, ini hanya sebagian dari isi cerita. Permasalahan yang lain masih banyak. Jadi, aku tidak spoiler ya! Tapi, untuk cerita klasik semacam ini bukankah spiolernya sudah tersebar di mana-mana ya?

Novel ini emberikan ending yang cukup membuatku kaget karena memang banyak plot twist. Tapi aku senang dengan plot twist-nya. Jadi, silakan teman-teman baca saja bukunya. Tapi isinya cukup menguras emosi ya. Itu kalau meurutku. Kalau ada pendapat lain, boleh disampaikan di komentar.

Quotes dari Novel Wuthering Heights

Untuk menutup review ini, aku ingin memberikan beberapa kutipan menarik yang ada daam novel Wuthering Heights karya Emily Bronte.

Cintaku kepada Linton sepeti dedaunan di hutan: waktu akan mengubahnya, aku sadar sekali itu, sebagaimana musim dingin mengubah pepohonan. Cintaku kepada Heathcliff menyerupai karang-karang abadi di bawah – sumber dari sedikit saja kesenangan yang terlihat, tetapi perlu.” (hlm. 120)

Aneh, kenapa orang mesti begitu rakus, padahal mereka hanya sendirian di dunia ini!” (hlm. 51)

Orang-orang jujur tidak menyebunyikan tingkah laku mereka. Bagaimana ia hidup selama ini? Bagaimana ia menjadi kaya?” (ketika Mrs. Dean mencurigai perubahan Heathcliff tapi Heathcliff tidak mau menceritakannya, hlm. 150)

Aku tidak mematahkan hatimu – kau yang mematahkannya; dan dengan mematahkannya, kau telah mematahkan hatiku.” (hlm. 233).

Menantikan musibah itu tindakan yang salah.” (hlm. 331)

Tidak ada yang mencintaimu – tidak ada yang akan menangisimu saat engkau mati! Aku tak sudi menjadi kau!” (makian Catherine Linton kepada Heathcliff yang telah membuatnya menderita, hlm. 414)

Demikian review novel Wuthering Heights karya Emily Bronte

 

Referensi

Wikipedia. Women in Victorian Era. en.m.wikipedia.org (diakses 10-12-2021)

Wikipedia. Hak Properti Wanita. id.m.wikipedia.org (diakses 10-12-2021)

2 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *