penyair palestina yang melakukan perlawanan lewat karyanya
Kepengarangan

Pengarang Palestina yang Melakukan Perlawanan Lewat Karyanya

Kata-kata bisa lebih menyayat daripada pedang, juga bisa lebih membakar daripada api. Seperti kata-kata yang ditulis oleh para pengarang Palestina ini. Para pengarang turut melakukan perlawanan melalui karya mereka. Kata-kata mereka tak jarang membuat Zionis gentar sehingga mencari segala cara agar rakyat Palestina tak mendengar atau membaca kata-kata yang membakar semangat juang rakyat. Mereka menangkap para pengarang dan memenjarakannya. Akan tetapi para pengarang itu tak gentar dengan intimidasi Zionis Israel. Mereka terus menulis untuk melawan dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

Berikut ini para pengarang Palestina yang melakukan perlawanan melalui karya-karyanya.

Pengarang Palestina yang Melakukan Perlawanan Lewat Karya-Karyanya

Mahmoud Darwish

Pengarang Palestina Mahmoud Darwish

Seorang penyair Palestina yang ditakuti Israel, Mahmoud Darwish namanya. Nama lengkapnya adalah Mahmoud Salim Husein Darwish. Ia dilahirkan di al-Birwa, sebuah desa terpencil di Galilea pada tanggal 13 Maret 1941. Ia dan keluarganya hidup berpindah-pindah dari Yordania, Suriah, Mesir, dan Tunisia. Suatu hari saat ia dan keluarganya kembali ke negaranya dari Lebanon, ternyata tanahnya sudah diduduki oleh Israel. Seperti orang Palestina lainnya, Mahmoud Darwish pun terusir dari tanah kelahirannya sendiri. Ia akhirnya tinggal di desa Deir al-Asad.

Sejak kecil ia telah melihat ketidakadilan yang dialami keluarganya. Bahkan di tanah kelahirannya sendiri ia terasing seperti orang yang menumpang.

Banyak dari puisi-puisi Mahmoud Darwish yang menumbuhkan semangat patriotik rakyat Palestina. Karya-karya patriotik tersebut sepertinya bagi Israel adalah sebuah pemberontakan yang membahayakan. Oleh karena itu, baik Mahmoud maupun karyanya harus dihentikan. Penangkapan pun menjadi hal yang biasa bagi Mahmoud Darwish.

Salah satu karyanya yang cukup fenomenal adalah “Bitaqatu al-Hawiyah” (Kartu Identitas). Melalui syair tersebut Mahmoud seolah ingin mengajak para pejuang Palestina sebagai bangsa Arab agar tidak lupa pada identitasnya sebagai bangsa Arab, dan menyerahkan begitu saja “identitasnya” pada penjajah.

Catat!
Aku orang Arab
Nomor kartuku lima puluh ribu
Anak-anaku delapan
Yang kesembilan akan datang setelah musim panas!
Apakah kamu marah?

Karya-karya perlawananya yang lain yaitu “Risalatu min al-Manfa” (Surat dari Pengasingan), “Auraq az-Zaitun” (Daun-Daun Zaitun), “Radd al-Fi’l, Wathan” (Tanah Air), “Jabiin wa Gadab” (Dahi dan Kemarahan), “al-Jurh al-Qadiim” (Luka Lama), “al-‘Ushafir Tamut fi al-Jalil” (Burung-Burung Mati di Galilea), dan lain-lain.

Mahmoud Darwish wafat di Texas, Amerika Serikat pada tanggal 9 Agustus 2008. Sang penyair telah mati. Namun karyanya akan terus menyala seperti api berkobar.

Ghassan Kanafani

Pengarang Palestina Ghassan Kanafani

Ia menjadi saksi sekaligus mengalaminya sendiri peristiwa an-Nakbah (pengusiran besar-besaran terhadap warga Palestina dari tanah kelahirannya sendiri). Masa kecil yang dilalui dengan peristiwa an-Nakbah  tidak membuat semangat perlawanan Ghassan Kanafani padam. Kelak ia akan terus melawan melalui karyanya. Kepahitan demi kepahitan hidup itu telah mengantarnya menjadi penulis dan aktivis Palestina.

Kanafani telah tertarik dengan dunia sastra sejak masih muda. Namanya mulai bersinar setelah ia pindah ke Beirut dan masuk ke lingkaran para penulis dan intelektual. Hingga kemudian sastra menjadi alat perlawanannya terhadap Zionis Israel.

Ia menulis tentang keadaan penduduk Palestina dan tragedi-tragedi yang mereka alami. Kanafani tak pernah lelah mengangkat isu kemanusiaan di Palestina ke hadapan dunia.

Karya-karyanya yang berbicara mengenai Palestina adalah “Rijalun fi as-Syams” (Men in The Sun), “A`idun Ila Haifa” (Return to Haifa), dan ‘Asyiqun (The Lover) yang tak selesai. Novel-novel ini menceritakan tentang bagaimana orang-orang Palestina menghadapi hidup mereka di tengah penjajahan Israel. Novel-novel tersebut banyak berbicara tentang kehilangan, pengasingan, pengungsian, ketidakberdayaan, dan harapan untuk kembali ke tanah kelahiran.

Ghassan Kanafani lahir di Akko, 9 April 1963. Ia Wafat pada tanggal 8 Juli 1972 di Beirut setelah dibunuh oleh Mossad. Mereka menganggap Ghassan Kanafani berperan dalam peristiwa pembantaian di bandara Lod.

Samih Al Qasim

Pegarang Palestina Samih al Qasim

Samih Al Qasim adalah penyair Palestina yang lahir pada tanggal 11 Mei 1939 di Zarqa, sebuah kota di Transyordania (sekarang Yordania).

Ia mulai menulis puisi sejak muda. Kumpulan puisi pertamanya adalah Mawaakibu as-Syams yang diterbitkan saat ia berumur 19 tahun. Pada usia tiga puluh, ia telah menerbitkan enam antologi puisi yang terkenal di wilayah Arab. Selain puisi, ia juga menulis banyak prosa dan drama.

Kumpulan puisi keduanya yang berjudul Aghani ad-Durub mendapat beberapa sensor oleh lembaga berwenang karena memuat isu yang dianggap sensitif untuk keadaan politik. Meskipun demikian, dia adalah pengarang yang tak terintimidasi oleh otoritas Israel. Ia tetap melakukan perlawanan tanpa takut. Dalam syairnya yang berjudul “Sa`uqawimu”, ia menulis,

Wahai musuh matahari … tetapi … aku tak akan menawar
Hingga denyut terakhir di nadiku … aku akan melawan

Bahkan kalimat “aku akan melawan” di akhir puisi ditulis sebanyak tiga kali. Syair tersebut ditujukan pada bangsa Israel yang telah sewenang-wenang dan membuat rakyat Palestina menderita.

Selain sebagai pengarang Palestina, Samih al-Qasim juga seorang aktivis politik. Ia berkali-kali keluar masuk penjara karena aktivitas politik dan karya sastranya. Kendati demikian, ia tak pernah berhenti untuk terus menyuarakan perlawanan melalui karyanya. Karya-karyanya yang cukup terkenal antara lain “al-Junud” (Para Serdadu) “Asyaddu min al-Maa`i” (Lebih Sedih Dari Air), dan “‘Uruus an-Nil” (Pengantin Perempuan Sungai Nil), dan “Ta’aliy Linarsum Ma’an Qausu Quzah” (Ayo Kita Menggambar Pelangi Bersama), “Fi Shaffi al-A’daa`i” (Di Barisan Musuh),  

Puisi-puisinya adalah bentuk perlawanan terhadap penindasan. Dalam karyanya tergambar perjuangan rakyat Palestina, kebanggaan akan identitasnya sebagai bangsa Arab, dan kecintaannya pada tanah air.

Samih al-Qasim wafat pada tanggal 19 Agustus 2014 di rumah sakit Safa.

Mourid Barghouti

Mourid Barghouti

Mourid Barghouti lahir di Ramallah tahun 1944. Sebagian hidupnya ia habiskan di pengasingan dari Mesir, Hungaria, Libanon, dan Yordania. Ia kembali ke Palestina setelah perjanjian damai ditandatangani oleh Israel dan PLO.

Ia disebut sebagai penyair dalam pengasingan. Beberapa karyanya ia tulis saat berada di pengasingan. Tulisan-tulisannya ia tujukan untuk membela bangsa Palestina, memperjuangkan kemerdekaan Palestina, dan menuangkan pemikiran. Puisi-puisi Mourid Bargouthi ini unik-unik. Tidak melulu berbentuk baris lurus. Akan tetapi aku tidak tahu apakah puisi tersebut termasuk puisi mbeling atau tidak karena aku belum membacanya.

Karya-karyanya antara lain “Qasa`idu ar-Rashif”, “Muntashafu al-Lail”, dan “Thalu as-Syatat”.

Ia juga merupakan tokoh kebudayaan Arab yang berpengaruh. Oleh karena itu, saat ia wafat pada 14 Februari, banyak kalangan yang merasa kehilangan.

Fadwa Tuqan

Fadwa Tuqan

Fadwa Tuqan lahir di Nablus tahun 1917. Ia berasal dari keluarga yang cukup ternama di Palestina. Ia mengenyam pendidikan hingga tingkat dasar. Sebagai perempuan yang hidup di masa sulit dan lingkungan yang lebih mengutamakan anak lelaki dan mengesampingkan anak perempuan, ia dipaksa tidak melanjutkan sekolah dan berada di rumah. Meski tidak melanjutkan sekolah, ia tetap mendidik dirinya sendiri. Salah satu kakaknya, Ibrahim Tuqan, yang baru selesai mengenyam pendidikan di Amerika ternyata cukup peduli dengan Fadwa. Kakaknya yang juga merupakan penyair Palestina itu menularkan semangat berkaryanya pada adiknya. Hingga akhirnya Fadwa mampu menulis puisi dan menjadi pengarang terkenal di Palestina.

Namun kesedihan demi kesedihan datang menghampiri hidup Fadwa saat kakak sekaligus gurunya, Ibrahim Tuqan, meninggal. Sebelumnya ayahnya juga meninggal. Tak lama kemudian perstiwa Nakbah terjadi.

Hal tersebut menyisakan pengaruh yang besar bagi jiwa Fadwa. Akan tetapi, tragedi kehidupannya justru mendorongnya untuk bangkit. Ia mulai berpartisipasi dalam kehidupan politik. Ia juga melakukan perjalanan ke London dan menetap selama dua tahun di sana. Di sanalah  ia mulai mendapat kekuatan baru untuk berkembang.

Setelah tahun 1967, ia mulai menghadiri konferensi sastra yang juga diadakan oleh para penyair Palestina terkemuka seperti Mahmud Darwish, Samih al Qasim, dll.

Puisi-puisinya banyak menggambarkan kesedihan. Dalam puisi-puisinya, Fadwa menyuarakan protes terhadap adat istiadat yang menyebabkan masyarakat sulit berkembang, diskriminasi terhadap perempuan, hingga penindasan terhadap rakyat Palestina. Karya-karyanya tentang Palestina antara lain “Hurriyatu as-Sya’b” (Kemerdekaan Rakyat), “Hamzah”,  “Ma’a Laa`ijah fii al-‘Id” (Bersama Seorang Pengungsi Perempuan di Hari Raya), “Madiinati al-Haziinah” (Kotaku yang Menyedihan), dan “Lan Abkiy” (Aku Tak Akan Menangis).

Ia wafat tanggal 12 Desember 2003.

Sebagaimana kata Wellek dan Warren, “penyair adalah pelamun yang diterima masyarakat”. Bagaimana tidak, kata-kata mereka ternyata menjadikan musuh kalang kabut tapi mampu menjadi lecutan semangat perjuangan rakyat.

Gambar sampul: Jo Justino dari Pixabay

3 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *