review buku japanese woman dont get old or fat
nonfiksi,  ulasan

Review Buku Japanese Woman Don’t Get Old or Fat: Rahasia Diet Orang Jepang

Aku menulis review buku Japanese Woman Don’t Get Old or Fat ini setelah sekian lama tidak mengulas buku nonfiksi. Sebenarnya akhir-akhir ini aku merasa sedikit burnout untuk membuat ulasan, apalagi membuat ulasan fiksi. Perihal membaca, aku lebih suka membaca fiksi. Namun, untuk mengulas buku, setelah kupikir-pikir dan kujalani, ternyata lebih mudah mengulas buku nonfiksi. Atau mungkin karena aku sedang butuh distrakasi saja ya dari mengulas fiksi? Jadi, mengulas buku nonfiksi ini seperti jeda atau selingan setelah beberapa kali hanya menulis ulasan fiksi yang kadang sok-sokan seperti kritik sastra, byuh! Ternyata saat aku jenuh mengulas fiksi, aku bisa mengulas buku nonfiksi.

Oke, mari kita review buku yang judulnya mengingakanku pada judul skripsi (baca:panjang) ini: Japanese Woman Don’t Get Old or Fat: Rahasia Diet Orang Jepang.

Identitas Buku

  • Judul: Japanese Woman Don’t Get Old or Fat: Rahasia Diet Orang Jepang
  • Pengarang: Naomi Moriyama dan William Doyle
  • Penerjemah: Dwi Prabantini
  • Penerbit: Penerbit Andi Yogyakarta
  • Tahun tebit: 2020 (cetakan ke-10)
  • Ukuran buku: xiv + 258 hlm.;14 x 21 cm.
  • ISBN (PDF): 978-978-29-2479-4
  • Media baca: Ipusnas

Cara membaca buku di Ipusnas bisa dilihat di sini. Kalau mau baca via laptop tutorialnya bisa dibaca di sini.

Review Buku Japanese Woman Don’t Get Old: Rahasia Diet Orang Jepang

Buku ini seolah mengajak pembaca untuk mengubah gaya hidup dari memperbaiki pola makan. Penulis merupakan orang asli Jepang yang tinggal di Amerika. Budaya makan di Amerika berbeda dengan di Jepang. Selama tinggal di Amerika, ia banyak makan junkfood dan berat badannya bertambah banyak. Saat ia pulang ke Jepang, ia kembali memakan masakan rumahan Jepang yang dimasak oleh ibunya. Ia lalu kembali merasakan bahwa ia memakan makana yang lezat dan terasa lebih baik di tubuh. Sejak saat itu, ia akan selalu mengingat dapur Tokyo ibunya dan membiasakan diri untuk memakan masakan rumahan Jepang meski tinggal di Amerika. Ia lalu mencoba untuk meninggalkan junkfood dan menggantinya dengan lebih banyak memakan masakan rumahan yang sehat. Meski memerlukan usaha yang lebih keras daripada sekedar membeli junkfood lalu memanaskannya di microwave, masakan rumahan yang dimasak dengan memperhatikan nutrisi lebih sehat bagi tubuh.

Akan tetapi, buku ini jadi terkesan membanding-bandingan kehidupan Jepang dengan Amerika dan lebih cenderung pada memojokkan budaya makan di Amerika jika tidak bisa disebut dengan primordialis. Namun, untuk bab makan ini sebenarnya aku juga setuju sih, karena ini didasarkan pada data, bukan asumsi. Lagipula, tanpa data-data falid dari literatur pun, kita bisa melihat sendiri banyak orang Amerika yang berbadan gemuk bahkan obesitas. Saat melihat orang Jepang di media, jarang sekali ada orang Jepang yang terlihat gemuk kecuali Kenta.

Aku jadi teringat literatur dan cerita orang tentang orang-orang Jepang di zaman penjajahan yang dipanggil cebol oleh para pribumi. Saat itu postur orang Jepang pendek-pendek. Sekarang, kita melihat postur tinggi-tinggi dan sehat-sehat pada orang Jepang. Ternyata orang Jepang memperbaiki nutrisi masyarakatnya. Seperti yang dijelaskan dalam buku ini, basic makanan orang Jepang adalah ikan, kedelai, nasi, sayur, dan buah (hlm. 31). Kaya akan protein. Ah, bukankah ini tidak jauh berbeda dengan dasar bahan makanan di Indonesia?

Dalam halaman 71 dijelaskan bahwa salah satu faktor perempuan Jepang tetap sehat dan langsing adalah karena perempuan Jepang rajin mengkonsumsi nasi. Di saat orang-orang diet membatasi konsumsi nasi, orang Jepang justru menjadikan nasi sebagai alat pelangsing. Penulis membandingkan nasi dengan roti dan bahan-bahan isian yang tidak sehat di Amerika. Kalau demikian, memang jelas bahwa makan nasi akan membuat tubuh lebih langsing daripada makan roti putih atau kentang goreng. Gambaran ini menunjukkan bahwa menu makan Jepang tidak jauh berbeda dengan menu makan Indonesia, yaitu menggunakan nasi sebagai makanan pokok.

Di saat anak-anak di negara lain, terutama di barat menyerbu penjual es krim, atau jajanan lain yang cepat saji, anak-anak di Jepang bahkan menyerbu penjual ubi manis, sebuah makanan tradisional yang masih terjaga nutrisinya (halaman 49). Biasanya anak-anak tidak suka makanan tradisional.

“Aku benar-benar penggila sayuran-bukan karena aku terobsesi dengan kesehatan, melainkan karena rasanya yang lezat”.

(hlm. 151)

Kutipan di atas sangat menarik bagiku. Benar juga. Memakan sayur karena suka akan lebih menyenangkan daripada karena obsesi kesehatan. Jika kita makan sayur karena tuntutan kesehatan mungkin sayuran tersebut justru akan menjadi beban. Makan dengan penuh beban akan membuat prosesi makan terasa kurang nikmat.

Penting bagi kita untuk membiasakan diri makan sayur-mayur. Jika kita terbisa makan sayur, lidah kita akan lebih bisa menerima rasa sayur yang alami. Lidah kita tidak akan terhalangi oleh rasa penyedap dalam makanan junkfood.

Kelak jika aku berkeluarga, aku juga ingin keluargaku makan makanan yang sehat dan membiasakan anakku untuk makan sayur sejak kecil. Yah, mungkin itu tidak akan mudah, mengingat zaman sekarang bertebaran masakan cepat saji dengan kadar bumbu dan gula yang tinggi dan melalui banyak pengolahan.

Di Jepang, sarapan dengan sayur dan nasi adalah kebiasaan, bukan lagi sekedar lumrah. Bukankah hal ini sama dengan di Indonesia? Bayangkan saja sarapan nasi putih dengan sayur bening bayam, lauk tahu atau tempe goreng tanpa tepung ditambah sambal terasi rebus, lalu ditambah pepaya sebagai pencuci mulut. Bukankah tampak lezat, menyenangkan, mengenyangkan, dan menyehatkan? Buku ini cukup berhasil membuatku kembali memikirkan pola makan tradisional yang kalau dikipir-pikir memang lebih menyehatkan.

Baca juga: Review Buku Food Combining di Bulan Ramadan

Penulis dalam buku ini sangat dermawan. Ia tidak hanya membicarakan pola makan tradisional Jepang yang sehat, tetapi juga memberikan banyak resep masakan rumahan Jepang yang bisa dicoba oleh pembaca. Bisa dibilang buku ini menggambarkan pola makan Jepang dengan detail, lengkap dengan peralatan masak, bumbu-bumbu dapur, bahan-bahan makanan yang ada di Jepang, serta di toko mana kita bisa mendapatkan bahan makanan dan peralatan tersebut.

Buku ini juga membahas mengenai penataan meja makan Jepang. Aku yakin pembahasan ini akan menjadi lebih menarik jika diberi ilustrasi. Aku sedikit kesulitan membayangkan bagaimana bentuk beberapa perabotan asing dan penataannya. Padahal ini bisa menjadi insprasi untuk menata meja makan dengan cara baru agar tidak membosankan.

Salah satu hal yang menarik dari buku ini adalah pembahasan tentang sumpit. Ternyata sumpit ada banyak macamnya. Aku baru tahu kalau sumpit perempuan lebih pendek daripada sumpit laki-laki dan sumpit anak-anak lebih pendek daripada sumpit perempuan. Perbedaan ukuran sumpit tersebut adalah untuk mengakomodasi ukuran tangan yang berbeda (hlm. 80). Selama ini sumpit yang kulimiki di rumah ukurannya sama semua. Mungkin karena bukan sumpit asli Jepang.

Selama ini aku jumawa bahwa negara yang kaya akan citarasa kuliner adalah Indonesia, negara lain kulinernya tidak menarik dan mungkin tidak cocok di lidah. Padahal aku belum pernah mencicipinya, huh! Dari buku ini aku belajar bahwa kuliner di Jepang tidak hanya sekedar mengandalkan kekayaan citarasa, tetapi juga makna pada makan itu sendiri. Kuliner tradisional dan rumahan di Jepang adalah simbol gaya hidup Jepang yang sehat dan memperhatikan pola makan. Buku ini membuatku belajar bahwa hal yang paling penting dari sebuah makanan adalah nutrisi dan efeknya untuk tubuh. Kita tidak menyukai makanan sehat rumahan karena mungkin kita terbiasa terpapar makanan-makanan cepat saji di luar yang banyak natrium dan gula. Akhirnya kita makan hanya menuruti keinginan mulut dan perut kita, tanpa mempedulikan apa yang sebenarnya dibutuhkan tubuh dan apa yang ditakuti tubuh.

Baca juga: Macam-Macam Makanan dalam Buku Petang Panjang di Central Park

Buku ini sangat underrated. Buku ini seharusnya memiliki lebih banyak pembaca. Kalian harus membaca buku ini. Buku ini tidak kalah dengan buku self improvement Korea dan Jepang yang viral dan dijual oleh penerbit-penerbit besar. Review ini murni inisiatifku sendiri ya, bukan promosi. Tolonglah baca buku ini, plis. Buku ini bagus tapi tidak populer.

Kalau teman-teman ada referensi buku yang seperti ini tapi versi Indonesia, tolong beritahu aku, ya. Aku yakin masakan tradisional Indonesia sebenarnya sehat-sehat dan bahan makanan mentah di negeri ini kaya akan nutrisi. Sayang sekali jika kita tidak tahu cara mengolahnya dan mengabaikan kandungan nutrisinya.

Demikian review buku Japanese Woman Don’t Get Old or Fat: Rahasia Diet Orang Jepang ini. Judulnya panjang sekali ya…

Kalau kalian ada pendapat terkait buku ini, silakan ditulis di kolom komentar. Aku senang membaca komentar kalian.

Sampai jumpa!

25 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *