review norwegian wood haruki murakami
fiksi,  ulasan

Review Norwegian Wood: Kesepian, Kehampaan, dan Kehilangan

Review Norwegian Wood: Kesepian, Kehampaan, dan Kehilangan

Pernah dengar lagu Norwegian Wood milik The Beatles? Yap, judul novel karya Haruki Murakami ini diambil dari judul lagu tersebut. Memang, Norwegian Wood adalah lagu yang sering dimainkan menjadi lagu faforit salah satu tokoh dalam novel ini. Ketika lagu ini di putar di pesawat, Toru Watanabe, tokoh utama novel ini, terkenang akan kehidupannya di masa silam dengan orang-orang yang pernah dekat dengannya.

Begitu pula kisah tokoh dalam novel ini juga hampir mirip dengan isi lagu Norwegian Wood tersebut. Sebelumnya aku tak mengira jika isinya akan semelankolis ini serta kehidupan tokoh-tokohnya gelap dan hampa. Aku juga baru tahu jika Norwegian Wood adalah judul lagu dari The Beatles, hehe.

Sinopsis Norwegian Wood

Toru Watanabe adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas di Jepang. Ia tinggal di asrama dan bekerja paruh waktu di toko piringan hitam. Akan tetapi, setelah kepindahannya dari asrama, ia bekerja paruh waktu di restoran Italia.

Toru Watanabe memiliki teman dekat bernama Kizuki. Kizuki memliki kekasih bernama Naoko. Mereka bertiga kerap pergi bersama tanpa membuat Watanabe terkesan seperti obat nyamuk. Watanabe dan Naoko dikejutkan dengan kematian Kizuki yang mendadak dan misterius. Setelah Kizuki mati karena bunuh diri, Watane menjadi canggung dengan Naoko. Akan tetapi beberapa hari kemudian, Naoko memintanya untuk bertemu. Sejak saat itu mereka menjadi lebih akrab tetapi menghindari untuk membicarakan Kizuki.

Watanabe akhirnya tahu Kalau Naoko sedang tidak baik-baik saja. Ia memiliki masalah kejiwaan yang berat meski dari luar ia terlihat biasa saja. Setelah hari ulang tahunnya yang ke-20 dirayakan bersama Watanabe di apartemennya, Naoko pergi ke sebuah tempat penyembuhan yang letaknya di Kyoto. Mereka berdua tak lagi bertemu. Hanya berkomunikasi lewat surat yang dibalas Naoko dengan cukup lama. Mereka berdua memiliki masalah hati yang cukup rumit. Watanabe merasa ia mencintai Naoko. Kerapuhan dalam diri Naoko memunculkan rasa sayang Watanabe dan membuatnya ingin melindungi Naoko. Sementara itu, Naoko merasa nyaman dekat dengan Watanabe. Tetapi ia sendiri bingung dengan kondisinya. Ia merasa nyaman dekat dengan Watanabe tetapi tidak mencintai Watanabe. Ia masih terbayang-bayang oleh Kizuki. Naoko sendiri juga tidak ingin menyakiti Watanabe. Akan tetapi, mereka bertekad untuk jujur tentang diri mereka masing masing. Watanabe bisa menerima hal tersebut. Bagi Naoko, Watanabe lah yang menjadi penghubungnya dengan dunia luar setelah Kizuki tiada.

Setelah enam bulan, Watanabe baru bisa mengunjungi Naoko di tempat penyembuhannya. Di sana Watanabe juga bertemu dengan Reiko-san, kawan sekamar Naoko yang telah tujuh tahun berada di tempat terebut. Reiko San dulu pernah menjadi pasien dan sekarang diminta untuk membantu para pekerja menyembuhkan pasien. Mereka bertiga akhirnya menjadi teman baik. Tetapi beberapa bulan setelah Watanabe kembali ke kotanya, ia mendapat kabar kalau Naoko tidak baik baik saja dan belum bisa bertemu dengannya. Watanabe yang selalu memikirkan Naoko pada hari-hari biasa menjadi semakin terbayang-bayangi oleh keadaan Naoko.

Terus-menerus memikirkan Naoko membuat Watanabe mengabaikan Midori. Midori merupakan teman kuliah Watanabe sekaligus teman dekatnya. Di mata Watanabe, kepribadian Midori cukup aneh. Ia sangat blak-blakan, bicara ceplas-ceplos dan vulgar. Penampilannya sedikit berandal untuk ukuran gadis sekolah sepertinya. Tetapi “keanehan” tersebut membuat Watanabe memiliki ketergantungan tertentu pada Midori. Watanabe merasa mencintai Naoko, tetapi di sisi lain ia juga membutuhkan Midori. Begitu kira-kira.

Selain itu, ada juga kawan seasrama Watanabe sekaligus satu-satunya teman asrama yang akrab dengannya yaitu Nagasawa-san. Nagasawa adalah anak seorang berada. Ia ditempatkan di asrama karena kegemarannya yang terlalu bablas. Tinggal di asrama tidak membuatnya tobat. Ia tetap keluar malam. Pengurus asrama memberikan hak istimewa kepada Nagasawa-san yang banyak privilese. Nagasawa-san sedikit banyak juga memberi pengaruh kepada Watanabe tentang menjalani hidup dan kebiasaan gelap.

Review Norwegian Wood – Haruki Murkami

Meskipun novel ini banyak menceritakan hubungan Watanabe dengan beberapa perempuan, akan tetapi novel ini tidak bermaksud untuk mengisahkan sebuah percintaan. Norwegian Wood adalah tentang hidup yang terasa hampa, penyakit mental, pergaulan bebas, kesepian, bunuh diri, dan kehilangan. Lebih dari itu, karya Haruki Murakami ini juga berbicara tentang kehidupan dan kematian.

Orang-Orang Kesepian

Bisa juga dibilang novel ini adalah cerita tentang orang-orang kesepian, orang-orang yang tak tahu apa yang ia cari di hidupnya. Mereka hidup mengikuti arus dan tetap menjalankan rutinitas seperti orang-orang pada umumnya. Hanya saja semuanya terasa hampa, tidak memberi nilai pada kehidupannya.

Mungkin ini ada hubungannya dengan kunang-kunang yang diberikan Kopasgat, kawan sekamar Watanabe semasa di asrama. Kunang-kunang itu ditaruh di dalam toples kopi. Kunang-kunang tersebut terlihat lemah dan cahanya redup. Ketika Watanabe melepaskan kuanng-kunang tersebut, kunang-kunang itu terbang dan meninggalkan Watanabe dalam kegelapan. Bahkan sisa-sisa cahaya kunang-kunang itu tak dapat digapainya. Kunang-kunang yang diberikan Kopasgat seperti simbol tentang kehidupan yang dijalani Watanabe.

Watanabe masih dibayang-bayangi kematian Kizuki dan orang-orang yang dikenalnya. (Ya, ada beberapa tokoh yang bunuh diri dalam cerita ini. Teman-teman bisa membacanya sendiri untuk mengetahuinya). Ia selalu terbayang-bayang oleh mereka meski kematian mereka bukan karena Watanabe. Watanabe jadi merenungi kehidupan dan kematian. Ia lalu menyadari bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan ini. Seperti kunang-kunang yang terbang dalam kegelapan, Watanabe berjalan tanpa arah dan tujuan. Watanabe adalah orang yang terjebak dalam kenangan masa lalu, sedangkan ia harus terus berjalan menuju masa depan dan kematian.

Hampir sebagian besar tokoh-tokoh di novel ini memiliki kesamaan: pernah / sedang berada dalam kehampaan. Watanabe yang introver dan tidak banyak teman, Naoko yang kehilangan Kizuki, Nagasawa –san yang kegiatannya menjadi tidak terasa berarti, Reiko San yang harus berpisah dari keluarga dan mengubur impiannya karena penyakit mental, juga Midori yang tidak terlalu diperhatikan orang tuanya dan tidak peduli dengan tetangganya.Sepertinya memang penulis sengaja penciptakan karakter-karakter dengan permasalahan yang sama, jadi terkesan tidak variatif.

Kalau kita pernah mendengar sebuah kalimat sambat seperti ini, “Anjay, gini banget hidup gue!” atau “Hidupku kok gini-gini amat ya…” atau mungkin juga, “Kehidupan macam apa yang sedang kujalani?” kira-kira seperti ini gambaran novel ini.

Penyakit Mental yang Tak Kasat Mata

Sakit mental tidak sama dengan penyakit fisik. Orang bisa saja terlihat bahagia atau baik-baik saja seolah tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya. Tapi siapa tahu ternyata ia memendam begitu banyak luka batin dan masalah kejiwaan yang berat. Ini lah yang terjadi pada Naoko dan Reiko-san. Watanabe sediri juga sering mengalami kekosongan dan kegalauan yang membuatnya hidup mengawang-awang. Bahkan tokoh figuran yang hanya muncul sekali juga sedang dalam masalah batin. Kita pun akan akrab dengan rokok, minuman keras, mabuk, pergaulan bebas, dan lagu-lagu psikedelik dalam novel ini.

Selain daripada itu, novel ini berbicara tentang kehidupan dan kematian. Keduanya adalah satu kesatuan, bukan berdiri sendiri-sendiri. Kematian menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri.  

Kematian bukanlah lawan dari kehidupan, tetapi ada sebagai bagiannya… Kehidupan kita ini secara bersamaan menumbuhkan kematian.

(hlm. 397)

Pemilihan kata dalam novel ini bagus. Ada nada melankolis dalam kata-katanya. Ada beberapa kejadian yang terlalu banyak diulang-ulang. Hal ini kadang-kadang membuatku membatin, “Lha, gini lagi.. gini lagi…” Kalau kuperhatikan, Watanabe sering sekali mencukur kumis dan jenggot di sini. Memangnya laki-laki kalau cukur brewok berapa hari sekali sih? Selain itu, ada juga kebiasaan lain Watanabe yang terlalu sering ditampilkan dalam cerita. Seolah-olah kebiasaan-kebiasaan Watanabe itu adalah iklan paling laris yang tersisip di antara acara televisi. Kehidupan di luar kebiasaan Watanabe lah yang menjadi acara intinya. Silakan teman-teman baca sendiri kebiasaan-kebiasaan Watanabe yang membuatku membatin, “Eh, buset, gini amat nih orang! ” Ya itu kalau aku sih, tidak tahu kalau yang lain.

Novel ini memberikan banyak referensi karya sastra dan lagu-lagu. Aku sempat mencatat beberapa. Nanti kutulis di bagian akhir. Lagu-lagu yang ada dalam novel ini juga lagu-lagu yang setipe dengan Norwegian Wood. Lagu-lagu tentang orang kesepian dan bernuansa psikedelik.

Meski pada halaman sampul belakang buku ini tertulis rating 15 +, menurutku buku ini lebih cocok dibaca untuk 18 deh.

Lagu-lagu yang Ada di Novel Norwegian Wood

  • Lemon tree
  • Puff The magic dragon
  • 500 miles
  • Where’s have all the flowers gone
  • Row your beat ashore – michael
  • Nowhere man
  • Julia – The Beatles
  • Desafinado – carlos jobim
  • Dear heart – henry mancini
  • Lagu-lagu Isida ayumi
  • Lagu-lagu marvin gaye
  • Lagu-lagu Bee Gees
  • Proud Marry
  • Lagu-lagu Miles Davis
  • Lagu-lagu Sarah Vaughan

Buku-buku dan Karya Sastra yang ada di Novel Norwegian Wood

  • Karya-karya Claudel
  • Karya-karya Racine
  • Karya-karya Eisenstein
  • Karya-karya Truman Capote
  • Karya-karya John Updike
  • Karya-karya Scott Fitzgerald
  • Karya-karya Raymon Chander
  • Karya-karya Takahasi Kazumi
  • Karya-karya Kenzaburo
  • Karya-karya Mishima Yukiko
  • The Centaur- John Updike
  • Great Gatsby – Fitzgerald
  • Karya-karya Balzac
  • Karya-karya Dante
  • Karya-karya Joseph Conrad
  • Karya-karya Dickens
  • Lord Jim – Joseph Conrad
  • War and Peace
  • The Catcher in The Rye
  • Magic Mountain – Thomas Mann
  • Das Kapital
  • Beneath The Wheel – Herman Hesse

Penutup

Terakhir dari review Norwegian Wood, Novel ini mengingatkan kita bahwa waktu yang telah hilang tak akan pernah kembali. Kita mungkin menyesali waktu-waktu yang telah hilang di masa lalu, maka kita harus berbenah untuk menyiapkan masa depan. Dan seperti yang dikatakan penulis, kematian menjadi bagian dari kehidupan ini, sebelum kita memasuki kehidupan di alam selanjutnya.

Oke teman-teman, demikian review Norwegian Wood. Kalau ada masukan bisa ditulis di kolom komentar. Teman-teman pernah baca Norwegian Wood? Bagaimana pendapat teman-teman tentang novel tersebut?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *