review novel gadis kretek
fiksi,  ulasan

REVIEW NOVEL GADIS KRETEK: NAPAK TILAS SEJARAH, PERJALANAN INDUSTRI KRETEK, DAN KISAH CINTA YANG DIPAKSA USAI

Review Novel Gadis Kretek: Napak Tilas Sejarah, Perjalanan Industri Kretek, Dan Kisah Cinta yang Dipaksa Usai

Novel Gadis Kretek adalah roman Indonesia karya Ratih Kumala. Gadis Kretek pertama kali terbit tahun 2012. Novel ini disambut dengan hangat oleh banyak pembaca. Beberapa bookstagram juga merekomendasikan buku ini untuk dibaca. Baru-baru ini kabarnya Gadis Kretek diadaptasi ke dalam serial Netflix yang akan tayang 2023 mendatang. Aku pun akhirnya bisa membaca novel ini setelah lama menjadi wishlist. Karena novel ini cukup banyak dibahas, aku juga tertarik untuk ikut membahasnya ke dalam sebuah review. Review novel Gadis Kretek ini berjudul Napak Tilas Sejarah, Perjalanan Industri Kretek, dan Kisah Cinta yang Dipaksa Usai. Itulah yang terlintas di benakku setelah selesai membaca novel ini.

Identitas Buku

Judul: Gadis Kretek

Pengarang: Ratih Kumala

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: 2022 (cetakan keenam)

Tebal buku: 274 hlm

Sinopsis Novel Gadis Kretek

Cerita bermula dari Soeraja (Raja) yang sakit struk dan mendekati ajal menyebut-nyebut nama Jeng Yah hingga membuat istrinya cemburu. Ketiga anaknya, Tegar, Karim, dan Lebas, ikut menjadi gusar dan juga penasaran: siapa sebenarnya Jeng Yah? Mengapa romonya ingin bertemu denganya? Apakah romonya memiliki utang kepada perempuan itu? Ibunya pun tak sudi mendengar nama perempuan itu disebut. Konon katanya, Jeng Yah adalah perempuan yang memukul jidat romonya menggunakan sempor petromak di hari pernikahan romonya. Mungkinkah perempuan itu adalah cinta masa lalu romonya yang belum usai?

Berbagai pertanyaan yang berkecamuk dan keadaan romonya yang semakin kritis membuat ketiga bersaudara itu mencari Jeng Yah demi sang romo. Siapa sangka Jeng Yah yang selama ini dicemburui oleh ibunya dan disebut-sebut oleh romonya di penghujung hayatnya adalah seorang pemilik bisnis kretek nomer satu di kota M pada zamannya, Kretek Gadis. Perjalanan mereka mencari Jeng Yah juga membawa mereka menilik sejarah berdirinya Kretek Djagad Raja yang selama ini belum semuanya sampai ke telinga mereka, juga hubungan romo mereka dengan Jeng Yah.

Kretek Gadis sudah mulai langka dan susah dicari. Tetapi mereka harus menemukannya untuk menemukan pabriknya sehingga ketemu dengan pemiliknya, Jeng Yah. Hanya dengan bertemu Jeng Yah lah masalah romonnya bisa menemui titik terang. Berhasilkah mereka menemukan Jeng Yah? Teman-teman bisa membacanya sendiri di buku.

peringatan bahaya merokok-novel gadis kretek
peringatan di bagian awal buku

Review Novel Gadis Kretek

Tokoh-tokoh dalam Novel Gadis Kretek

Tokoh-tokoh dalam novel Gadis Kretek ini terdiri dari lintas generasi. Yang pasti, para tokohnya saling berkaitan satu sama lain yang jika dihubungkan bisa menjadi sebuah silsilah. Karena berbeda zaman, maka karakter dan kultur tokoh-tokoh di tiap-tiap generasi juga berbeda. Yang paling tua berlatar pendudukan pendudukan kepergian Belanda dan pendudukan Jepang hingga masa kemerdekaan. Tokoh-tokoh yang penting diantaranya adalah Idroes Moeria, Djagad, dan Roemaisa. Lalu masa pasca kemerdekaan, generasi angkatan anak-anak mereka bertiga: Jeng Yah, Soeraja (Raja), dan Purwanti. Generasi yang ketiga, era generasi milenial, yang ditokohi oleh ketiga kakak beradik, Tegar, Karim, dan Lebas, anak dari Soeradja, pemilik Kretek Djagad Raja.

Tegar, sebagai anak sulung adalah putra mahkota yang akan mewarisi tugas-tugas romonya untuk mengurus pabrik beserta buruh-buruhnya. Sebagaimana kultur sosial masarakat, anak pertama biasanya paling atau lebih digadang-gadang oleh keluarga. Anak pertama dituntut untuk menjadi paling dewasa dan paling tangguh. Oleh karena itu, ia akan lebih digembleng atau dididik lebih keras dari adik-adiknya. Persaudaran Tegar, Karim, dan Lebas adalah gambaran dari kultur tersebut. Tegar dengan wataknya yang selalu serius dan tegas karena didikan yang lebih keras, Karim yang lebih santai dan menjadi penengah keributan keributan kakak dan adiknya, dan Lebas yang berjiwa bebas, masa bodoh, dan senang membanyol.

Adapun yang menjadi pusat cerita sebenarnya adalah Jeng Yah, pemilik kretek Gadis yang populer di kota M. Jeng Yah adalah potret perempuan mandiri, tangguh, dan berpikiran progresif. Ia mewakili kecerdasan ibunya dan keuletan ayahnya sehingga membawa Kretek Gadis menjadi kretek nomer satu di kota M. Sosok Jeng Yah mematahkan anggapan bahwa perempuan tidak bisa memimpin dan tidak bisa diandalkan di ranah publik. Meskipun demikian, Jeng Yah juga manusia biasa. Ia bisa merasa sedih patah hati ketika lelaki yang dicintainya pergi darinya.

Jalan Cerita dan Latar yang Unik

Latar cerita ini berpusat di kota M, lalu ke Kudus, Temanggung, hingga Jakarta. Meski namanya hanya satu huruf, M, tetapi ketika penulis menjelaskan bahwa kota tersebut adalah perbatasan Jogja dan Magelang, kurasa kota yang dimaksud adalah Muntilan. Karena tokohnya lintas generasi, begitu pula latarnya, lintas zaman. Dari zaman kolonial sampai zaman modern yang ditandai dengan HP dan sms yang digunakan tokoh untuk berkomunikasi.

Novel Gadis kretek kental akan nuansa sejarah Indonesia. Mulai dari kepergian Belanda dari Indonesia, lalu kedatangan Jepang yang dikira sebagai saudara tua tetapi ternyata musuh dari balik kedok. Lalu masa-masa kepopuleran PKI dengan G30S yang megikutinya, yang mengorbankan orang-orang tak bersalah, termasuk keluarga Jeng Yah dan usaha kreteknya.

Selain itu, tak ketinggalan perjalanan industri yang berperan besar dalam menyumbang pendapatan negara, industri rokok kretek. Dari mulai klobot, klembak menyan hingga rokok. Dari kemasan ala kadarnya dengan tulisan tangan, hingga bungkusan rapi dengan desain yang lebih nyentrik. Dari beriklan di koran, sampai menembus ke layar lebar. Nuansa persaingan bisnisnya terasa. Kalau dalam buku-buku bisnis biasanya dikenal dengan istilah ATM (amati, tiru, modifikasi). Ini yang terjadi pada bisnis kretek Idroes Moeria dan temannya, Djagad. Berkali-kali Djagad selalu memotokopi ide Idroes.

Cerita ini menggunakan alur campuran. Berkali-kali cerita ini membawa pembaca menengok masa lalu tokohnya, lalu kembali lagi. Tetapi seringnya pergantian alur ini tidak membuat cerita ini membingungkan. Justru tiap pergantian alur memberkan kejutan dan semakin memecahkan masalah satu demi satu. Sejak awal cerita ini sudah menyuguhkan ketegangan dan memancing penasaran. Meskipun penyelesaian konflik di cerita ini rasanya terlalu cepat dan terlalu mudah, kurasa endingnya cukup bisa membuat pembaca puas dan lega.

Ide Cerita dan Gaya Penyampaian yang Menarik

Kuakui ide penulis untuk mengangkat cerita yang menyuguhkan perjalanan industri kretek ini memang patut diacungi jempol. Jerih payah penulis melakukan riset selama kurang lebih 4 tahun terbayar dengan eksekusi cerita yang keren. Napak tilas sejarah, perjalanan industri kretek, persaingan bisnis, hingga romansa dibalik munculnya kretek disatukan dengan harmonis ke dalam 274 halaman.

Cerita ini juga tak lepas dari kultur masyarakat Jawa yang patriarkis. Saat Jeng Yah lahir, ayahnya sedikit kecewa karena lahir anak perempuan, bukan laki-laki. Dalam bayangan ayahnya, anak laki-laki lebih bisa diandalkan untuk meneruskan bisnis kreteknya. Tetapi anggapan itu terhapus dari benak ayahya setelah ia melihat sendiri kecerdasan dan kecakapan putrinya. Kultur tersebut juga membuat laki-laki dituntut untuk menjadi sosok yang selalu kuat, tangguh, dan dapat diandalkan. Oleh karena itu, Soeraja merasa minder ketika orang-orang menggunjingkannya bahwa ia hanya menumpang di rumah calon mertuanya dan calon istrinya. Meskipun Soeraja di sana bekerja sebagai mandor buruh linting, tetapi Soeraja belum merasa menjadi lelaki sejati karena ia merasa berada di bawah ketiak calon istrinya. Soeraja lalu ingin membuat brand kretek sendiri. Hal tersebut ternyata berbuntut panjang pada nasib dan kisah cinta mereka di masa mendatang.

Perjalanan industri kretek di sini tak lepas dari kisah cinta tokoh-tokohnya. Pada awalnya Idroes Moeria membuat klobot Djojobojo untuk modal agar bisa meminang Roemaisa, yang sebelumnya telah dilamar Djagad. Ia merasa kalah dari Djagad, teman yang menjadi saingan bisnisnya. Begitu pula Roemaisa meneruskan usaha klobot milik suaminya yang saat itu diculik Jepang dan dibawa ke Soerabaja. Dengan melinting kretek lah Roemaisa bisa mengobati kerinduannya kepada suaminya selain untuk menambah pemasukan. Kretek jugalah yang mempertemukan Jeng Yah dengan Soeraja, meski akhirnya cinta mereka hanya menjadi sebuah kenangan.

Cerita dituturkan dari sudut pandang berbagai tokoh. Dari sisi Lebas, lalu Idroes Moeria dan Jeng Yah, juga dari sisi Djagad. Jadi kita seperti mendapatkan berita dari orang yang berbeda. Tentu saja tiap-tiap tokoh penyampaiannya berbeda. Ada yang menyampaikan apa adanya, ada juga yang diberi bumbu.

Penyampaian cerita dengan menghadirkan tokoh Tegar, Karim, dan Lebas adalah ide yang cukup cerdik. Ini menjadikan cerita ini lebih seru. Cara penulis menyampaikan cerita meski tidak terlalu nyastra tapi kesan ceritanya tetap sampai. Novel ini terasa seru, kocak, dan historis.

***

Buat para pecinta rokok, kamu perlu baca buku ini. Tenan…tenang… novel ini tidak akan menceramahi pembaca tentang dampak dari merokok seperti yang sering dijelaskan di seminar-seminar kesehatan di posyandu dan sekolahan. Meski aku sudah selesai membacanya, ceritanya masih terngiang-ngiang sampai beberapa hari kemudian. Apalagi hubungan Tegar, Karim, dan Lebas. Mereka tampak seru sekali menjadi kaka beradik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *