review novel the fault in our stars
fiksi,  ulasan

Review Novel The Fault in Our Stars: Novel Ringan yang Maknanya Dalam

Teman-teman pernah membaca novel yang berjudul The Fault in Our Stars? Atau mungkin temn-teman pernah menonton filmnya? The Fault in Our Stars ini adalah sebuah novel karya John Green. Ia adalah seorang penulis yang tinggal di Indiana. Karya-karyanya telah mendapatkan banyak penghargaan dan menduduki peringkat best seller. Jika kita pernah membaca salah satu karyanya yang berjudul The Fault in Our Stars, kita pasti tidak asing dengan sosok Hazel Grace dan Augustus Waters. Merekalah yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Aku tahu buku ini berawal dari unggahan salah seorang influencer di instagramnya tentang film ini. Kalau dilihat dari personal branding influencer tersebut, buku ini adalah salah satu buku yang membicarakan kebahagiaan hidup atau bagaimana cara kita menemukan kebahagiaan, ya intinya tentang cara untuk bahagia pokoknya. Setelah itu aku baru tahu kalau ternyata film ini diadaptasi dari sebuah novel. Suatu hari ketika aku berjalan-jalan di Gramedia Yogyakarta, aku tak sengaja melihat buku ini. Di sampulnya sih ada keterangan special bonus edition. Meski aku kurang begitu paham apa bonusnya, mungkin pembatas buku karet warna biru yang berlogo tulisan “okey” ini. Sayang sekali logonya sudah hilang. Padahal itu yang khas dari cerita ini. Tapi apapaun itu, tentu saja isi bukunya lebih penting untuk kita bicarakan bukan? Untuk penjelasan lebih lanjut, simak terus review novel The Fault in Our Star di Memori Buku ini ya!

Identitas Buku

  • Judul: The Fault in Our Stars
  • Penulis: John Green
  • Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
  • Penerbit: Penerbit Qanita
  • Tahun terbit: 2016 (cetakan IV)
  • Ukuran buku: 424 hlm; 20,5 cm
  • ISBN: 879 602 1637 84 5

Review Novel The Fault in Our Stars

Disadari atau tidak, menjadi seorang penyintas kanker itu artinya akan dipandang berbeda oleh orang-orang. Bisa saja diistimewakan. Kadang-kadang orang lain juga memandangnya dengan bertanya-tanya, orang ini kenapa ya? Apa yang terjadi dengan orang itu? Apakah ia sakit? Kenapa dia begitu? Yang paling sering adalah simpati, kekaguman orang atas ketabahannya menghadapi ujian kanker, atau motivasi untuk terus bersemangat menjalani hidup. Tetapi yang jelas, hidup mereka tidak mudah. Mereka mau tidak mau harus berbagi hidup dengan kanker yang telah menjadi bagian dari dirinya. Mereka sudah tahu bahwa mereka harus tetap menjalani hidup meski mungkin umur mereka tidak lebih panjang daripada teman-temannya. Oleh karena itu, ada seorang penyintas kanker yang muak dengan segala motivasi hidup atau kalimat pujian basa-basi atas ketabahannya. Baginya semua itu terasa menuntutnya untuk menjadi orang yang luar biasa. Sementara itu baginya tidak semua orang menginginkan kehidupan yang luar biasa. Jika semua orang akan mati, kenapa perjalanan kematian penyintas kanker harus sedemikian dramatisnya?

Begitulah kira-kira yang dirasakan Hazel Grace, seorang penyintas kanker paru-paru. Sebagai seorang penyintas kanker, ia tidak ingin mengingkari kenyataan. Ia sadar bahwa ia akan mati, entah menderita kanker maupun tidak. Ia hanya ingin menghabiskan sisa hidup dengan menyenangkan orang tuanya dan menjalani aktivitas senormal mungkin. Ia tidak memiliki banyak ambisi. Tetapi pandangan Hazel terhadap kehidupan berubah semenjak bertemu dengan Augustus Waters di Kelompok Pendukung. Apa yang membuat Hazel menjadi lebih semangat menjalani hidup? Padahal ia tidak suka dimotivasi? Baca ulasan novel The Fault in Our Stars ini sampai selesai ya!

Sinopsis Novel The Fault In Our Stars

Hazel Grace adalah seorang penyintas kanker tiroid stadium IV. Hazel sebenarnya sudah muak dan hampir putus asa untuk menjalani hidup ini. Kanker atau tidak kanker, ia akan mati. Dan kanker semakin memperpendek jaraknya dengan kematian. Tetapi semenjak ia mengenal Augustus Waters di Kelompok Pendukung, ia menjadi lebih semangat untuk menjalani hidup. Sama seperti Hazel, Augustus yang biasa dipangil Gus, juga menderita kanker. Ia didiagnosa osteosarkoma. Sebelah kakinya dibantu dengan kaki palsu karena amputasi. Ia mantan pemain basket tetapi semenjak kanker ia benci basket. Satu lagi, mereka memiliki teman baik bernama Isaac. Ia juga seorang penyintas kanker mata. Sekarang mata Isaac buta seluruhnya. Mereka bertiga bertemu di Kelompok Pendukung. Sebuah komunitas pemerhati Kanker di bawah naungan gereja. Kelompok yang rutin dihadiri oleh para penyintas kanker, termasuk Hazel, Agustus, dan Isac. Sebenarnya Hazel tidak telalu suka menghadiri perkumpulan itu karena dirasa membosankan, monoton, dan muak dengan semua romantisasi yang dibuat untuk penderita kanker. Hazel hanya ingin menerima kenyataan bahwa ia menderita kanker yang membuat umurnya tak akan panjang. Ia sadar bahwa ia akan mati menyusul teman-temannya sesama penyintas kanker. Semenjak terkena kanker, Hazel merasa ia tak punya banyak teman selain keluarganya dan Kaitlyn. Tetapi setelah bertemu Augustus Waters, ia merasa memiliki teman senasib sepenanggungan, dan sepemikiran. Meski kepribadian mereka cukup bertolak belakang, tetapi kesamaan nasib rupanya bisa menumbuhkan cinta di hati masing-masing.  

Ia dan Agustus Waters bertukar buku favoritnya. Augustus memberikan buku Ganjaran Fajar kepada Hazel Grace. Hazel Grace memberikan buku Kemalangan Luar Biasa (KLB) kepada Augustus Waters. Bagi Hazel Grace, KLB adalah cerita luar biasa. Tokohnya seperti cerminan dirinya. Oleh karena itu, ia penasaran ketika ceritanya sudah selesai dan endingnya menggantung. Ia juga tidak menyangka jika ternyata Gus juga tertarik dengan cerita itu dan turut penasaran. Hazel telah mencoba mengirim email kepada Peter Van Houten tetapi tak pernah dibalas. Ketika Gus mencoba mengrim email kepada asisten Van Houten untuk menanyakan kelanjutan ceritanya, tak disangka email Gus dibalas. Dari surat menyurat elektronik tersebut, Hazel dan Gus mendapat undangan dari Peter Van Houten untuk ke rumahnya jika mereka pergi ke Amsterdam.

Undangan tersebut adalah salah satu angin segar bagi kehidupan Hazel. Gus juga telah mendapat Sponsor untuk mewujudkan keinginan mereka dari Peri Pewujud Keinginan, sebuah komunitas pewujud mimpi anak-anak kanker. Tetapi ternyata itu tak semudah yang ia kira. Ia harus mendapatkan rekomendasi dokter. Bagaimanapun juga, paru-parunya terlalu riskan untuk sebuah perjalanan jauh. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Hazel bisa menghirup udara segar karena dokter mengizinkannya pergi ke Belanda dengan ditemani Mom. Banyak hal-hal menarik dan mengesankan selama mereka berada di Amsterdam. Tapi ketika mereka mengunjungi rumah Peter Van Houten, mereka dibuat terkejut dengan sosok Peter Van Houten. Tidak hanya itu, ada hal yang disembunyikan oleh Gus ketika hari keberangkatan mereka ke Amsterdam. Mengenai apa yang terjadi sebenarnya, teman-teman bisa membacanya sendiri di buku.

Review Novel The Fault In Our Stars: Novel Ringan yang Maknanya Dalam

Novel ini diceritakan dengan Hazel Grace sebagai tokoh utama. Selain itu, ada juga Augustus Waters yang cukup banyak diceritakan. Bisa dibilang porsinya sebanding dengan tokoh utama. Watak tokoh-tokoh dalam novel ini cukup realistis. Penulis seolah paham benar bagaimana menjadi remaja-remaja yang harus hidup dengan kanker. Remaja yang cenderung menyukai kebebasan dan ingin mencoba banyak hal harus terisolasi karena kanker. Penulis tetap menyematkan karakter khas remaja yang rebel dan banyak penasaran pada tokoh Hazel, Gus, Isaac, Kaitlyn, dan tokoh-tokoh lain yang sebaya. Jadi, meskipun menceritakan penyintas kanker, karakternya tidak melulu sendu dan melankolis dan banyak menaruh harapan. Begitu juga dengan karakter orang-orang tua, dokter, dan Peter Van Houten yang membuat novel ini tambah mind blowing. Kombinasi karakter-karakter dalam novel ini menarik dan menjadikan novel ini tidak terasa monoton.

Cerita ini berlatar kota Indianapolis, Indiana. Sama dengan tempat penulis tinggal. Kota Amsterdam juga menjadi latar kedua meski porsinya hanya sedikit. Tetapi porsi yang sedikit itu cukup menggambarkan bagaimana keadaan kota tersebut dan bagaimana Hazel dan Augustus menikmati suasana yang ada di sana. Adapun latar di Indianapolis berputar pada Kelompok Pendukung di ruang bawah tanah gereja, rumah Hazel, Gus dan Isaac, dan rumah sakit. Tapi tenang, meskipun ada rumah sakit, ini tidak seperti adegan dalam sinetron negeri +62. Kurasa rumah sakit di sini memang sesuai dengan jalan cerita yang berpusat pada penyintas kanker. Peristiwa di rumah sakit juga cukup penting karena menceritakan detail penyakit Hazel dan Gus.

Untuk plot, cerita ini baru mulai memanas pada pertengahan bab. Sebelumnya berjalan cukup tenang. Tetapi setelah melewati pertengahan, cerita semakin memasuki intrik yang menarik. Banyak konflik yang mulai bermunculan. Meskipun konlfik baru bermunculan di pertengahan bab, cerita yang disajikan di awal-awal tidak membosankan.

Novel The Fault in Our Stars ditulis dengan bahasa yang lugas dan ringan. Meski mengunakan bahasa sehari-hari, maknanya cukup mendalam. Ide cerita ini cukup unik dan menarik. Mengangkat penyintas kanker sebagai permasalahan utama tetapi tidak terkesan menjual penderitaan untuk menarik simpati pembaca. Banyak hal yang bisa direnungkan dari buku ini. Hazel dan Agustus dipandang tidak utuh sebagai manusia karena penyakitnya. Teori Abraham Maslow dan pidato-pidato kematian yang disampaikan pendeta atas kematian penyintas kanker menyiratkan hal tersebut. Penyitas kanker juga dipandang berbeda oleh orang-orang. Mereka bisa menjadi pusat perhatian karena penyakitnya. Atau mungkin juga sebenarnya mereka muak dengan segala ujian atau kata-kata motivasi dan penyemangat hidup yang diberikan kepada mereka tanpa diminta. Tanpa diberikan pun, mereka juga tahu bahwa semua manusia harus tetap hidup meski tidak berguna.

“‘Peperangan yang hebat,’ katanya mengabaikanku.

‘Apa yang kuperangi? Kankerku. Dan, apakah kankerku itu? Kankerku adalah aku. Tumor-tumor itu adalah bagian dari diriku. Mereka adalah bagian dari diriku, sama seperti otak dan jantungku adalah bagian dari diriku. Ini perang saudara, Hazel Grace, dengan pemenang yang sudah ditentukan sebelumnya.'”

Hlm. 291

Adapun mengenai judul cerita ini, rupanya diambil dari surat Peter Van Houten yang mengkritik sajak Shakespeare ketika membicarakan takdir dan bintang.

“Seandainya gadis itu lebih sehat atau atau kau lebih sakit, maka bintang-bintang tidak akan membawa takdir, walaupun secara alami bintang-bintang memang membawa takdir, dan Shakespeare sangatlah keliru ketika menyuruh Cassius berkata, ‘Kesalahannya, Brutus tersayang, bukanlah pada bintang-bintang/Melainkan pada diri kita sendiri.’ Itu cukup mudah untuk dikatakan jika kau bangsawan Romawi (atau Shakespeare!), tapi kesalahan selalu bisa ditemukan di antara bintang-bintang.”

hlm. 152

Sepertinya ini berbicara tentang takdir yang diibaratkan dibawa oleh bintang. Bintang-bintang itu seperti kehidupan yang kita jalani. Kehidupan kita tak lepas dari ujian. Tidak selamanya hidup selalu berjalan sesuai keinginan kita. Seperti kata Hazel dan Augustus yang diulang-ulang di novel ini, “dunia bukanlah pabrik pewujud keinginan.” (hlm. 164). Akan ada beberapa ketidaksempurnaan dalam kehidupan kita yang sering kita anggap sebagai sebuah kesalahan, sehingga kita menyalahkan takdir. Entahlah, aku tak tahu interptretasi ini benar atau tidak. Tetapi apapun itu, buku ini adalah bacaan yang bagus. Novel yang ringan tapi mendalam. Cocok untuk bacaan remaja. Atau untuk kamu yang sedang mencari makna hidup dan jati diri.

3 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *