sinopsis dan review novel layar terkembang
fiksi,  ulasan

Sinopsis dan Review Novel Layar Terkembang- Sutan Takdir Alisjahbana (SPOILER ALERT!)

Sinopsis dan review novel Layar Terkembang – Sutan Takdir Alisjahbana – Novel Layar Terkembang adalah karya sastra Indonesia yang pertama kubaca. Aku mengenal novel Layar Terkembang lewat pelajaran bahasa Indonesia. Saat itu aku masih duduk di bangku SMP. Buku itu kudapat dari pinjam teman karena di perpustakaan sekolah tidak ada. Ya, buku-buku di perpustakaan sekolah memang saat itu tidak diperbarui.

Sayang sekali saat itu aku tidak membacanya secara menyeluruh. Aku hanya membacanya secara loncat-loncat. Kubaca bagian yang menurutku penting. Saat salah satu temanku bertanya buku ini bercerita tentang apa, begini jawabku (dialog asli dalam bahasa Jawa), “Tuti dan Maria itu kakak beradik. Maria punya pacar namanya Yusuf. Suatu hari Maria sakit parah lalu meninggal. Lalu Yusuf akhirnya sama Tuti.” Jawabku. “Udah, gitu doang?” tanya temanku. “He`em,” jawabku sambil mengangguk-angguk mantap. Yang masuk ke otakku dari novel ini hanyalah bagian romansa tokohnya saja. Pikiran remaja yang labil dan lugu membuatku tak melihat nilai-nilai lain yang sebenarnya justru menjadi pesan utama cerita ini. Sebenarnya aku tahu ada pesan lain yang lebih penting dari Novel Layar Terkembang ini. Tetapi pikiran dangkalku tidak sampai untuk menjelaskannya, ahaha.

Meskipun kesulitan untuk mengulas cerita itu masih terasa sampai sekarang, bolehlah aku tetap membuat sinopsis dan review novel Layar Terkembang yang dikarang oleh Sutan Takdir Alisjahbana ini. Kali ini tidak hanya membahas kisah cintanya saja kok, ada hal lain yang menarik untuk dibahas. Jadi, baca ulasan ini sampai selesai ya!

Identitas Buku

Judul: Layar Terkembang

Pengarang: Sutan Takdir Alisjahbana

Penerbit: Balai Pustaka

Tahun terbit: 2019 (cetakan ke-46)

Ukuran buku: 208 hlm

Sinopsis Novel Layar Terkembang – Sutan Takdir Alisjahbana

Tuti dan Maria adalah sepasang kakak beradik yang perbedaan karakternya hampir seratus delapan puluh derajat. Tuti, sang kakak, adalah aktivis pergerakan perempuan yang tegas, lugas, teratur, cakap, dan mandiri. Adapun Maria, sang adik, adalah gadis yang ceria, lembut, dan ramah. Dibanding Tuti, Maria tidak banyak terlibat dalam organisasi dan pergerakan pemuda. Akan tetapi Maria memiliki kekasih yang merupakan seorang aktivis pergerakan pemuda dan seorang setuden Sekolah Tabib Tinggi (Mahasiswa Kedokteran). Namanya Yusuf. Yusuf pertama kali bertemu dengan Maria dan Tuti di pasar ikan.

Maria dan Yusuf tampak semakin akrab dan saling mencintai. Sementara itu, Tuti selalu disibukkan dengan aktivitas organisasinya. Ia aktif menyuarakan emansipasi perempuan, mengajak perempuan untuk mandiri dan berdaya agar tidak menjadi budak laki-laki dan patriarki. Jika Maria ingin mengabdikan hidupnya untuk suaminya setelah menikah nanti, Tuti justru menentang anggapan tersebut. Bagi Tuti, ia lebih baik tidak menikah daripada harus dikekang setelah menikah.

Hingga suatu hari Maria sakit. Sakitnya semakin parah. Sakitnya Maria membuat Tuti menyadari banyak hal yang selama ini luput dari perhatiannya. Keadaan Maria yang semakin payah juga menyedihkan Yusuf, kekasihnya. Terlebih ujiannya belum selesai yang menyebabkan ia tidak bisa sering-sering menunggui kekasihnya. Tetapi ia berjanji pada Maria jika ia akan menyembuhkan kekasihnya dengan tangannya sendiri setelah ujian kelulusan selesai. Apakah Yusuf berhasil menyembuhkan Maria? Bagaimana Tuti menghadapi hari-hari yang mendadak berubah?

Review Novel Layar Terkembang – Sutan Takdir Alisjahbana

Biar lebih enak dibaca, reviewnya kubagi ke dalam beberapa subjudul ya!

Tokoh-Tokoh Novel Layar Terkembang

Ada banyak tokoh dalam novel ini. Tapi yang paling banyak diceritakan dan berperan dalam jalan cerita ada tiga tokoh: Maria, Tuti,  dan Yusuf. Karakter masing-masing tokohnya sangat kontras. Apalagi Maria dan Tuti. Kekontrasan karekter kakak beradik tersebut seperti terkesan disengaja oleh penulis untuk menciptakan dua citra yang berbeda pada perempuan.

Maria digambarkan sebagai gadis periang, lembut, dan ramah. Sifat ideal seorang gadis menurut standar budaya tradisional. Sifat Maria disukai banyak orang. Akan tetapi karakter Tuti yang dideskripsikan dengan penuh nada pujian membuat karakter Maria terkesan terlalu manja. Kelembutan dan keceriaan seorang gadis dianggap sebagai kelemahan perempuan.

Tuti digambarkan sebagai perempuan yang tegas, lugas, teratur, cakap dan mandiri. Sebagai seorang aktivis Putri Sedar (Organisasi Pergerakan Perempuan), ia telah biasa mengajak perempuan untuk berdiri di atas kaki sendiri dan tidak bergantung pada laki-laki. Ini dilatari oleh banyaknya kasus diskriminasi terhadap perempuan yang banyak terjadi di masyarakat sekitarnya. Kecerdasan dan kecakapan Tuti membut beberapa laki-laki minder. Untuk menutupi keminderannya tersebut, laki-laki yang pernah melamarnya berusaha meminta Tuti untuk membatasi dan melarang beberapa aktivitasnya organisasinya. Tuti juga kerap mendapat nasehat dari kerabatnya untuk tidak menjadi perempuan yang terlalu aktif, sehingga ia bisa segera menikah dan tinggal di rumah setelah menikah.

Tuti adalah perempuan ideal untuk standar masyarakat intelek dan open minded pada zamannya. Di sisi lain, penulis juga mengkritik kekerasan hati perempuan seperti Tuti melalui tokoh Maria. Di mata Maria, karakter Tuti terlalu perfeksionis, kaku, dan kurang bisa menghargai orang lain yang tak sepaham dengannya.

Yusuf adalah seorang pemuda terpelajar. Ia aktif di organisasi pergerakan pemuda. Ia orang yang berwawasan luas, pandai membawa diri, dan berbudi halus. Ia bisa mengimbangi pembicaraan Tuti yang penuh dengan perdebatan pemikiran dan pandangan hidup, maupun pembicaraan Maria yang tak jauh dari hal-hal remeh-temeh ringan. Jika dipikir-pikir, karakter Yusuf lebih mirip dengan Tuti. Akan tetapi ternyata Yusuf lebih jatuh cinta dengan Maria. Tuti dan Yusuf sendiri sering terlibat perdebatan saat bertukar pikiran. Mereka memiliki topik pembicaraan yang sama dan cukup berbobot. Berbeda jika Yusuf berdiskusi dengan Maria. Maria lebih menyukai topik ringan-ringan yang dekat dengan sekelilingnya. Kalau Yusuf berbicara mengenai organisasi dan aktivitas pergerakan pemuda, Maria hanya mengiyakan pendapat Yusuf, tidak balik perbendapat seperti Tuti. Ternyata sifat ramah, lembut, dan ceria Marialah yang membuat Yusuf jatuh cinta padanya.

Yusuf ada untuk menciptakan citra laki-laki yang tidak terbelenggu dengan pemikiran kolot. Yusuf tidak gengsi mengakui kehebatan perempuan cakap seperti Tuti, tetapi juga tidak meremehkan gadis biasa seperti Maria. Bagaimanapun, Yusuf tidak bisa memungkiri bahwa karakter Maria yang lebih penurut adalah salah satu alasan mengapa ia lebih memilih Maria sebagai pasangan hidup.

Alur yang Terlalu Biasa dan Banyak Kebetulan

Kalau ditanya apakah novel Layar Terkembang bagus? Aku belum bisa seratus persen mengiyakan. Untuk ukuran sastra klasik Indonesia yang banyak dibicarakan dan direkomendasikan, jalan ceritanya terlalu biasa. Tidak ada yang istimewa. Tidak banyak peristiwa tak terduga. Bahkan bagian awalnya sudah menyajikan banyak klise yang terlalu dibuat-buat.

Novel ini terlalu banyak kebetulan dan tiba-tiba. Banyak dialog atau adegan penting yang tidak terselesaikan gara-gara ada peristiwa tiba-tiba lain, seperti kehadiran tokoh. Yang paling menyebalkan adalah ketika penulis membuat perdebatan pemikiran yang menarik antara Yusuf dengan Tuti, lalu tiba-tiba Maria muncul dengan segenap pesonanya di tengah dialog yang belum selesai. Dialog menarik itu pun tidak dilanjut karena topik pembicaraan berganti setelah Maria bergabung. Lalu Tuti pergi ke belakang untuk menyelesaikan laporan.

Cerita ini banyak menampilkan konflik batin. Pertentangan kakak beradik juga menjadi salah satu penyulut konflik. Puncaknya setelah lewat bagian pertengahan cerita ketika Maria sakit parah. Untuk penyelesaian masalah tidak begitu mengejutkan. Cerita tidak hanya dibangun oleh alur. Ada komponen lain yang juga berperan penting dalam membangun cerita. Sisi menark novel ini bukan pada alurnya.

Layar Terkembang dengan Gaya Khas Sastra Balai Pustaka

Novel ini memang masuk ke angkatan pujangga baru tetapi gayanya tidak jauh berbeda dengan tipikal sastra Balai Pustaka. Sepertinya gaya belum begitu banyak berubah pada masa transisi Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Bahasanya mendayu-dayu dan ada kesan kemelayu-melayuan tapi tidak semendayu sastra berlatar Sumatra. Layar Terkembang berlatar di Jakarta dan sekitarnya. Ada beberapa bagian yang terasa bertele-tele. Meski demikian, gaya penulisannya tidak terlalu rumit untuk dipahami.

Emansipasi, Semangat Perubahan, dan Kritik Terhadap Modernitas yang Disalah Pahami

Salah satu bagian yang menarik dari novel ini adalah topik pembicaraan para tokoh-tokoh inteleknya. Melalui dialog tokoh-tokoh terpelajarnya, novel ini memberikan kritik terhadap pandangan keliru mengenai pola pikir modern. Keberadaan bangsa Belanda cukup berpengaruh bagi perkembangan pemikiran masyarakat. Pemikiran orang-orang barat menjadi acuan sebuah kemodernan di kalangan anak-anak muda. Banyak anak-anak muda berlomba-lomba membangun kebiasaan seperti orang barat. Akan tetapi mereka tidak menyaring mana kebiasaan yang perlu ditiru dan mana yang tidak. Orang-orang pribumi bukan meniru kebiasaan produktif melainkan meniru kebiasaan yang menurut mereka menyenangkan meski tidak produktif.

“Daripada didikan dan pergaulan dengan Barat itu diambilnya saja yang enaknya. Bangun tinggi hari, sore tidur lagi, senja-senja minum teh di hadapan rumah dan melancong-lancok mengambil udara. Mereka yang demikian menyebutkan dirinya modern. Tetapi semangat modern, yang sebenarnya, semangat yang menyebabkan orang barat dapat menjadi mulia, tiada diketahui mereka sedikit jua pun. Sifat teliti, kekerasan hati, ketajaman otak, kegembiraan bekerja yang sangat mengagumkan kita pada orang Barat, sekaliannya itu tiada sedikit juapun diambilnya.”

(hlm. 66)

Kritik tersebut disampaikan lewat dialog Tuti dan Yusuf.

Melalui tokoh Tuti, penulis menyuarakan gagasannya mengenai perempuan dan emansipasi. Tampak keberpihakan penulis kepada perjuangan kaum perempuan untuk berdikari dan memiliki otoritas atas dirinya sendiri. Tuti adalah pewaris perjuangan Kartini yang akan terus terlahir dari masa ke masa. Di sisi lain, sosok perempuan seperti Tuti yang tampak tangguh di luar juga memiliki perang batin sendiri. Kadang ia merasa iri dengan Maria, ada perasaan ingin dicintai oleh seorang kekasih. Tetapi Tuti selalu menampik perasaan tersebut. Bagi Tuti, perasaan semacam itu hanya akan menambah kelemahannya. Akibatnya, ia sulit mengakui perasaannya sendiri.

Novel ini membawa semangat perubahan masyarakat ke arah yang lebih modern tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur budaya sendiri. Sebuah perubahan perlu realisasi, bukan hanya sebatas orasi. Ini penulis sampaikan lewat tokoh Saleh dan Ratna. Saleh dan Ratna adalah gambaran pasangan yang saling bahu-membahu dalam urusan pekerjaan. Sehari-hari Ratna turun ke ladang mengelola ternak atau ikut membantu suaminya ke sawah. Ratna juga menulis tentang perkembangan kehidupan perempuan di pedesaan. Mereka bukan lagi sekedar bekerja untuk diri mereka sendiri. Mereka turut memikirkan bagaimana agar masyarakat petani di sekitarnya bisa hidup sejahtera. Bagi Tuti, Ratna telah jauh bergerak melebihi dirinya. Ia telah merealisasikan perjuangan saat perjuangan Tuti baru sampai pada kata-kata dalam pidato-pidatonya. Ratna dan Saleh telah membuka hati dan pikiran Tuti. Mereka memberikan makna baru dari sebuah perjuangan dan perubahan, juga sebuah relasi setara dan produktif.

Kesimpulan

Kekuatan novel ini tidak terletak pada jalan ceritanya, tetapi pada pesan-pesannya. Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana merefleksikan semangat perjuangan kaum muda, khususnya orang-orang terpelajar untuk membawa perubahan. Perjuangan untuk perubahan tidak hanya sebatas kata-kata di atas mimbar atau selembar kertas ijazah, tetapi perlu realisasi. Kita pun perlu menyaring, mana hal yang bisa membawa perubahan ke arah lebih baik dan mana yang tidak.

Demikian review novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana ini. Teman-teman pernah baca juga? Bagaimana pendapat kalian tentang novel ini? Tulis di komentar ya!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *