
Sebuah Ulasan: The Story of Doctor Dolittle (Kisah Dokter Dolittle)
Aku membaca dan mengulas buku The Story of Doctor Dolittle ini, selain ingin tahu bacaan-bacaan dongeng klasik, juga dalam rangka mengikuti tantangan baca klasik yang diadakan oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku The Story of Doctor Dolittle, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Kisah Dokter Dolittle, merupakan salah satu cerita anak klasik Inggris. The Story of Doctor Dolittle merupakan buku pertama dari serial Dokter Dolittle lainnya. Kisah Dokter Dolittle ini bertokohkan para binatang, tapi bukan sebagai tokoh utama. Tokoh utamanya tentu saja Pak Dokter Dolittle.
Identitas Buku
- Judul: The Story of Doctor Dolittle (Kisah Dokter Dolittle)
- Pengarang: Hugh Lofting
- Penerjemah: Julanda Tantani
- Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
- Tahun terbit: 2020
- Ukuran buku: 160 hlm. / 20 cm
- ISBN: 9786020638928
Baca juga ulasan novel klasik yang lain: The Professor-Charlotte Brontë
Sinopsis The Story of Doctor Dolittle (Kisah Dokter Dolittle)
Dokter Dolittle merupakan seorang dokter hebat dan baik hati yang terkenal di kalangan manusia maupun binatang. Ia tinggal di Puddebly, sebuah desa kecil di Inggris. Ia tinggal bersama saudara perempuannya, Sarah Dolittle dan hewan-hewan peliharaannya. Ada Polynesia si burung nuri cerdas, ada Jip si anjing, Gub-Gub si babi cengeng, Chee-Chee si monyet lincah, Too-Too sang burung hantu penghitung keuangan, dan Dab-Dab si bebek. Dokter Dolittle memang sangat menyukai binatang. Sayangnya, kegemarannya memelihara binatang kurang bisa diterima oleh pasien-pasiennya karena mereka merasa terganggu. Akhirnya Dokter Dolittle tak lagi punya pasien. Ia pun bangkrut. Atas saran penjual pakan kucing dan Polynesia, Dokter Dolittle alih profesi menjadi dokter hewan.
Dokter Dolittle bisa memahami bahasa hewan berkat belajar dengan Polynesia, si burung nuri piaraannya. Karena kemampuannya memahami bahasa binatang dan wataknya yang baik hati, Pak Dokter disukai oleh banyak binatang. Kini banyak binatang yang diperiksakan pemiliknya maupun memeriksakan dirinya sendiri ke Dokter Dolittle dan tinggal di rumahnya. Pak Dokter kembali mendapatkan banyak uang. Akan tetapi, Pak Dokter kembali mendapat penolakan warga setelah seekor buaya mendiami rumahnya. Saudara perempuannya juga pergi dari rumahnya karena Pak Dokter tidak mau menyingkirkan buaya itu. Kepada orang-orang, Pak Dokter mengatakan kalau buaya itu sudah berjanji untuk tidak menggigit siapapun. Akan tetapi, siapa yang percaya kalau buaya bisa bicara? Akhirnya para pemilik binatang tidak lagi mau memeriksakan peliharaannya ke tempat Dokter Dolittle. Hanya tinggal para binatang yang tidak pernah mengenal uang untuk membayar jasa.
Suatu hari Dokter Dolittle mendapat surat dari monyet-monyet di Afrika yang isinya permintaan untuk menolong mereka. Monyet-monyet itu sedang tertimpa wabah. Tentu saja Pak Dokter yang baik hati itu ingin membantunya. Akan tetapi ia tak tahu bagaimana caranya agar ia bisa sampai Afrika. Uangnya tinggal sedikit. Tempatya jauh. Ia tak punya kendaraan untuk menuju ke sana. Ia juga tak mungkin bisa menyewa kapal jika tidak punya uang. Akhirnya, atas ide dari Polynesia, pak dokter meminjam kapal milik salah satu nelayan di Puddleby untuk berlayar ke Afrika. Perjalanan dokter Dolittle tidak mudah. Ada banyak rintangan. Kapalnya bocor, terdampar di Jolliginki yang rajanya membenci orang kulit putih, bertemu dengan bajak laut bengis, dan berbagai rintangan lain yang luar biasa. Akan tetapi dokter Dolittle tidak sendiri. Ia menempuh perjalanan panjangnya dibantu oleh hewan-hewan yang sudah menjadi keluarganya. Dokter Dolittle berjuang bersama mereka untuk menghadapi rintangan perjalannya demi sampai ke Arfika untuk mengobati monyet-monyet dan kembali dengan selamat. Ia juga harus mencari cara untuk menganti kapal tetangganya yang bocor dan tenggelam.
Pelajaran Hidup dari Perjalan Dokter Dolittle dan Binatang-Binatangnya
Dokter manusia beralih profesi menjadi dokter hewan dengan begitu mudah? Ya, cuma Dokter Dolittle yang bisa. Seperti yang kita tahu, dokter hewan dan dokter umum adalah dua profesi yang berbeda meski sama-sama dokter. Pendidikannya juga berbeda. Orang yang telah mendapatkan gelar dokter umum, tidak mungkin begitu saja membuang gelarnya yang didapatkannya dengan susah payah hanya untuk menempuh pendidikan dokter hewan dari nol. Sebuah hal yang mindho gaweni, harus kerja dua kali. Tapi, ya… cerita ini ditujukan kepada imajinasi anak-anak yang tidak selalu bisa diterima pikiran orang dewasa yang terlalu realistis. Fiksinya (bukan nyatanya), Dokter Dolittle tetap bisa menjadi dokter hewan tanpa menempuh kuliah kedokteran hewan.
Sebagai karya sastra anak, Kisah Dokter Dolittle ini memberikan cerita dengan konflik yang cukup memanjakan imajinasi anak-anak. Betapa hebatnya dokter Dolittle. Ada saja idenya untuk meloloskan diri dari masalah. Bisa lolos dari kejaran bajak laut Ben Ali dan mendapatkan kapalnya yang mewah dan cepat. Bisa membuat Ben Ali yang licik dan menakutkan itu menuruti perintahnya untuk menjadi petani. Bisa menemukan paman seorang anak yang hilang. Bisa lolos dari penjara Jolliginki. Serta bisa megubah pangeran Bompu yang berkulit hitam menjadi berkulit putih, meski hanya wajahnya saja.
Pada dasarnya konflik yang ada di cerita anak tidak sekedar masalah sepele yang hanya dipahami oleh anak-anak. Akan tetapi juga masalah kompleks yang ada di kehidupan ini, yang dijabarkan sesederhana mungkin sesuai nalar anak-anak. Hugh Lofting sebagai pengarang cerita sukses menarasikan permasalahan kehidupan dengan bahasa yang ramah daya tangkap anak-anak. Jika kita membaca cerita ini, ada bagian ketika dokter Dolittle meminta bantuan singa, sang raja hutan, untuk ikut serta merawat monyet-monyet yang sakit. Tenaga perawat kurang, sementara monyet-monyet yang perlu dirawat bertambah banyak. Sebagai atasan dari para binatang, tentu saja singa itu gengsi ikut merawat monyet-monyet yang rakyat jelata. Begitu juga singa itu gengsi untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada dokter Dolittle setelah ditegur istrinya.
“‘Kau berani memintaku, Tuan?’ katanya sambil memelototi Pak Dokter. ‘Kau berani memintaku-aku, Raja para Binatang- untuk merawat monyet-monyet kotor ini? Astaga, aku bahkan tidak mau menyantap mereka untuk cemilan sore!’” (hlm. 69).
Narasi tersebut bisa jadi merupakan kritik terhadap kesenjangan sosial antara orang elit dengan kalangan menengah ke bawah. Karakter singa di sini adalah simbol sikap seorang berada yang merasa dirinya tinggi dan merendahkan kalangan bawah sehingga tidak mau bergaul dengan mereka. Atau sikap pimpinan yang tak peduli dengan rakyatnya, hanya mementingkan dirinya sendiri, dan tidak mau mengakui kesalahan.
Selain itu, penulis juga sedikit menyinggung persoalan kulit putih dan kulit hitam. Superioritas kulit putih atas kulit hitam yang membuat kulit hitam merasa terdiskriminasi, dinarasikan melalui karakter orang-orang Jolliginki. Orang-orang Jolliginki yang merupakan bangsa berkulit hitam pernah mendapatkan perlakuan sewenang-wenang oleh orang kulit putih yang datang ke negerinya. Oleh karena itu, mereka menaruh stereotip kepada setiap orang kulit putih. Pak dokter yang merupakan orang kulit putih harus dijebloskan ke penjara oleh raja Jolliginki. Lain halnya dengan pangeran Bumpo, anak raja Jolliginki. Pangeran Bumpo justru ingin menjadi orang kulit putih karena menganggap kulit putih lebih baik dan lebih rupawan daripada kulit hitam. Di sini ada pesan kesetaraan antara kulit hitam dan kulit putih yang diwakilkan dari dialog Dokter Dolittle dengan para binatang piaraannya.
“Sang Putri Tidur tak akan pernah mau menikah dengannya, kalaupun Bumpo tetap berwajah putih,” kata Dab-Dab. “Bumpo kelihatannya lebih bagus berkulit hitam, menurutku. Dia takkan pernah bisa telihat bagus dengan warna apapun selain warna aslinya.”
“Bagaimanapun, dia mempunyai hati yang baik,” kata Pak Dokter- “romantis, memang-tapi tetap hati yang baik. Wajah rupawan sebaiknya dibarengi oleh hati yang rupawan pula.” (hlm. 96).
Penulis seperti menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa tak ada hierarki antara kulit hitam dan putih, tak ada yang lebih buruk atau lebih bagus. Yang lebih utama adalah sikap yang baik kepada sesama manusia. Pak Dokter tidak menafikkan bahwa pengeran Bumpo yang berkulit hitam itu memiliki hati yang baik. Aku melihat narasi-narasi tersebut sebagai kritik sosial yang disampaikan secara halus dan tersirat. Sebuah pesan yang pas disisipkan dalam cerita anak.
The Story of Doctor Dolittle ini banyak memberikan pesan tersirat yang menarik. Karakter-karakter yang sebagian besar binatang membuat cerita ini seolah ditulis dari sudut pandang seorang binatang. Cerita ini terdapat banyak konflik yang boleh dibilang cukup unik. Aku juga suka dengan cara penulis memberikan penyelesaian dari setiap konflik. Konflik-konflik yang luar biasa itu membuat cerita ini semakin seru. Anak-anak pasti akan menyukainya. Ending cerita ini setipe dengan cerita-cerita anak pada umumnya. Setidaknya ketika pertama kali diterbitkan, buku ini menjadi bacaan yang membahagiakan di tengah-tengah berita menyedihkan dan mencekam karena perang dunia I.
Pada halaman sampul belakang buku ini terdapat keterangan 13+. Akan tetapi, menurutku anak-anak di bawah usia tersebut sudah bisa memahami isi cerita yang ada di buku ini. Jadi tidak ada salahnya jika buku ini juga dibaca oleh anak-anak usia sekolah dasar. Orang dewasa juga tidak ada salahnya membaca buku The Story of Doctor Dolittle ini. Lumayan, untuk mengembalikan kewarasan. Begitu kataku.

