ulasan/ review novel atheis
fiksi,  ulasan

Ulasan Novel Atheis: Ketika Keimanan Seorang Theis Diuji dengan Dakwah Sang Atheis

Ulasan Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja – Seorang theis yang taat selalu menjalankan hidup dengan berpedoman pada ajaran agama. Mereka mempercayai adanya Tuhan yang patut disembah. Mereka meyakini adanya hukum akhirat atas apa yang telah diperbuat di dunia. Akan tetapi, bagaimana jika seorang Theis ini dihadapkan pada pemikiran bahwa Tuhan itu tidak ada? Jika Tuhan ada, mengapa masih banyak kerusakan di bumi? Di mana Tuhan saat ada bangsa yang anak-anaknya kelaparan dan tanahnya kekeringan? Apakah Seorang Theis ini bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan para Atheis? Apakah kepercayaan Theis terhadap Tuhan lantas goyah?

Demikianlah yang terjadi pada Hasan, tokoh utama novel ini yang merupakan seorang theis beragama Islam. Kawan masa kecilnya telah menjadi seorang Atheis. Apa yang disampaikan kawannya tentang ketiadaan Tuhan terasa masuk akal baginya. Apakah Hasan berubah pikiran? Kamu akan menemukan jawabannya di novel Balai Pustaka yang berjudul Atheis karya Achdiat Karta Mihardja ini. Ulasan novel Atheis ini juga akan memberi sedikit gambaran tentang novelnya. Maaf, ya, sedikit spoiler. Tapi se-spoiler apapun sebuah ulasan, tidak akan pernah bisa menggantikan buku aslinya. Percayalah… pada Tuhan.

Identitas Buku

Novel Atheis

Judul Buku: Atheis
Pengarang: Achdiat Karta Mihardja
Penerbit: Balai Pustaka
Tahun terbit: 2019 (cetakan ke-38)
Ukuran buku: 14,8 x 21 cm
Tebal buku: xii + 21 cm
ISBN: 979 407 185 4, 978 979 407 185 4
Baca via: Ipusnas

Sinopsis Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja

Hasan adalah seorang Theis beragama Islam yang terlahir dari keluarga ahli ibadah. Sejak kecil, orang tuanya telah menanamkan pendidikan agama kepada Hasan. Meski agama dikenalkan dengan cara dogmatik, Hasan tumbuh menjadi pemuda yang taat beribadah. Bahkan saat cintanya tak sampai, ia mencari pelarian kepada agama, mengikuti orang tuanya dalam tarekat.

Sejak mengenal tarekat, ibadah Hasanpun semakin banyak dan semakin khusyuk . Sayangnya banyaknya ibadah mahdhah tidak dibarengi dengan ibadah gairu mahdhah yang baik. Banyaknya ibadah yang telah ia jalani membuatnya merasa sudah alim dan lebih alim daripada orang lain. Perasaan itu membuat ia merasa ingin mengislamkan rang lain yang baginya masih kafir. Rencana tersebut semakin matang saat ia bertemu Rusli, kawan masa kecilnya yang kini telah menjadi atheis. Saat itu Rusli bersama seorang perempuan bernama Kartini yang mengingatkan Hasan pada Rukmini, cinta masa lalunya yang kandas.

Terkait: Novel Layla, Seribu Malam Tanpamu: Ketika Seorang Sufi Jatuh Cinta

Bagi Hasan, Rusli adalah kafir. Rusli menganggap Tuhan itu tidak ada. Pandangan Rusli tentu saja sesat dan perlu diluruskan. Bagi Rusli, Hasan adalah bagian dari orang kolot yang menganggap Tuhan ada. Tuhan hanyalah teori buatan manusia yang merasa pesimis akan hidup dan mencari sandaran untuk menenangkan kepesimisannya. Dalam hal ini, Rusli lebih pandai membuat pandangannya tampak benar. Hasan tak berkutik di hadapan Rusli.

Pada awalnya pendapat Rusli sangat menyinggung Hasan dan membuat Hasan semakin menguatkan diri dalam beribadah. Akan tetapi, lambat laun setelah ia bertemu dengan kawan-kawan Rusli yang sesama atheis dan mengikuti diskusi mereka, pendirian Hasan goyah juga. Hasan mulai terpengaruh.

Keatheisan Hasan ini ahirnya diketahui oleh orang tua Hasan saat Hasan mudik bersama Anwar, kawan barunya sesama atheis yang congkak dan anarkis. Awalnya Hasan masih menjalankan ibadah untuk melegakan hati orang tuanya. Akan tetapi, Anwar mengatakan pada Hasan bahwa Hasan adalah orang yang tidak teguh pendirian dan tidak punya prinsip. Ia telah menjadi atheis tetapi masih beribadah hanya untuk menyenangkan kedua orang tuanya saja. Bagi Anwar, apa yang terjadi sebenarnya harus ditunjukkan apa adanya. Tidak perlu disembunyikan.

Pergaulannya dengan Anwar membawa banyak perubahan pada Hasan. Puncaknya saat Hasan hendak pulang, Hasan menunjukkan keatheisannya secara terang-terangan kepada kedua orang tuanya. Orang tuanya terkejut dan merasa sakit hati karena Hasan yang selama ini pendiam dan patuh mendadak berani mendebat orang tua dengan argumennya. Hasan yang selama ini taat pada agama sekarang menjadi ingkar.

Meski Hasan sudah membutlatkan tekadnya, dalam perjalanan menuju Bandung, ia merasa menyesal telah menyakiti hati orang tuanya. Akan tetapi ia terus melanjutkan hidup. Bedanya ia tak lagi rajin beribadah seperti dulu. Tuhan sudah ia lupakan. Hasan lalu menikahi Kartini meski pernikahan mereka ditentang orang tua Hasan. Pada tengah perjalanan, rumah tangga mereka mengalami masalah. Hasan dan Kartini terlibat cekcok setelah Hasan merasa Kartini selingkuh dengan Anwar dan Kartini merasa Hasan tak memperlakukannya dengan baik dan melakukan KDRT.

Setelah mengalami berbagai permasalahan hidup, pada akhirnya Hasan diam-diam merindukan saat-saat ia menemukan ketenangan dalam beribadah. Dulu ia bermimpi hidup tenang di bawah naungan agama. Ia pernah bermimpi salat berjamaah dengan Kartini menjadi makmumnya. Saat bertemu kawannya untuk mengoreksi tulisannya, Hasan tidak mau lagi jika disebut sebagai atheis. Saat itu permasalahannya dengan Kartini belum selesai. Rasa curiganya terhadap Anwar belum hilang. Saat itu, ia bermalam di hotel yang malam sebelumnya akan digunakan menginap oleh Anwar dan Kartini. Meski Kartini menghindar dari Anwar, namun keterangan dari penjaga hotel tentang Anwar yang menginap berama istrinya membuat hati Hasan terlanjur panas. Tanpa mempedulikan sakit TBC-nya yang semakin parah, ia keluar hendak mencari Anwar. Naas, Hasan tertembak serdadu Jepang yang sedang melakukan operasi jalan.

Ulasan Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja

Menjelang bagian akhir, banyak adegan kebetulan dalam novel ini tetapi tidak sebanyak novel ini. Aku tak tahu apakah adegan kebetulan adalah trade mark novel klasik Indonesia? Tapi, tidak apa-apa deh, kebetulan di sini masih dalam tahap wajar. Yang lebih penting adalah isi keseluruhan cerita. Bukankah begitu?

Ketika Keimanan Seorang Theis Diuji dengan Dakwah Sang Atheis

Sebuah gambaran menarik tentang theisme yang dijuji di tengah-tengah atheisme. Memang jika ingin adu perdebatan antara dua kelompok yang berbeda harusnya adalah orang yang kapasitasnya sepadan antara kedua belah pihak. Jika atheis yang tidak pandai diadu dengan theis yang pandai, tentu sang atheis bisa tersudutkan. Begitu pula jika seorang atheis pandai diadu dengan theis yang tidak suka berpikir, tentu saja hanya akan menjadikan theis tampak terpojok.

Yang terjadi pada novel Atheis adalah theis yang terlalu dogmatik dengan atheis yang bebas untuk berpikir dan berargumen. Alhasil, theis, di sini Hasan, selalu mati kutu jika dihadapkan pada argumen-argumen para atheis yang didasari pada teori Marx dan Nietszche, teori yang tidak pernah diketahui oleh Hasan. Theis yang tidak tahu apa-apa selain ritual ibadah di agamanya saja dihadapkan pada atheis yang mendalami pemikiran dan perkataan Karl Marx seperti mengimani sabda Nabi. Gampangnya adalah Theis yang tidak tahu apa-apa di antara atheis yang terlalu banyak paparan dan persuasif. Di sini, dakwah atheis yang menang.

Dan satu lagi, seorang Theis yang pendiam dan tidak terlalu pandai berbicara diadu dengan seorang atheis yang cara berbicaranya seperti seorang sales berpengalaman yang pandai mempengaruhi pendengar atau pembeli sehingga tertarik dengan produk yang ia tawarkan.

Hasan diceritakan sebagai orang yang mudah goyah pendirian. Saat ia merantau dan bertemu dengan kelompok atheis, ia terkejut dengan pandangan mereka terhadap Tuhan. Ia tidak bisa menjawab pendapat-pendapat mereka karena tidak punya dasar argumen yang menguatkan pendapatnya. Pendangan-pandangan yang diikuti oleh para atheis, adalah pandangan-pandangan yang tak pernah Hasan ketahui. Mereka selalu membicarakan Karl Marx, Nietzsche, Lenin, dan tokoh-tokoh sosial lain yang tak pernah Hasan ketahui sepak terjangnya.

Sedangkan dalam mempelajarai agamanya sendiri, ia terlalu mendapat didikan yang dogmatik seolah melarang umatnya untuk berpikir dan menganalisis ajaran agama lebih jauh. Adapaun Rusli sangat pandai berbicara. Ia pandai menuturkan kata-kata yang memikat dan mempengaruhi hati pendengar. Apalagi jika pendengar itu mudah goyah pendiriannya seperti Hasan.

Ketika Para Atheis Berdebat Tentang Tuhan

Penganut atheisme dalam novel ini direpresentasikan melalui tokoh Rusli, Anwar, Parta, dan kawan-kawan satu lingkarannya.

Anwar sendiri adalah orang yang suka menjadi pusat perhatian, sedikit congkak dan anarkis. Ia menganggap bahwa Tuhan adalah diri sendiri. Seperti halnya dengan Rusli, pemikiran Anwar yang radikal cukup banyak memberi pengaruh bagi Hasan. Akan tetapi, perilaku dan sikap Anwar kadang tidak sesuai dengan perkataannya yang ndakik-ndakik.

Dalam novel ini Hasan diajak Rusli untuk sesekali ikut berdiskusi dengan kelompok atheis. Mereka sendiri sempat terlibat perdebatan tentang Tuhan. Rusli sendiri memegang pendapat bahwa Tuhan itu tidak ada. Anwar menganggap Tuhan adalah diri sendiri. Adapun bagi Parta, tekniklah Tuhan manusia. Jika demikian, pada dasarnya mereka mengakui adanya Tuhan, hanya saja sesembahannya yang berbeda. Ah, ya, aku tahu, Tuhan yang dimaksud para atheis tersebut pasti maksudnya bukan seperti Tuhan yang kupikirkan.

***

Novel ini ditulis dari sudut pandang seorang Theis sehingga tidak heran jika endingnya seolah terkesan menyalahkan Theis yang meninggalkan keyakinannya dan berpindah haluan menjadi seorang atheis. Di akhir cerita, Hasan menyesal pernah menjadi seorang Atheis. Hidupnya tidak bahagia. Ia kehilangan pegangan hidup dan hidupnya menjadi tidak terarah. Ia kemudian tertembak oleh tentara Jepang saat keluar untuk membunuh Anwar dalam keadaan sakit yang teramat payah. Ending dengan memberikan ‘azab’ kepada Hasan ini seolah menunjukkan keberpihakan penulis kepada kelompok theis. Kelompok atheis mungkin tidak akan suka dengan endingnya.

Kesimpulan

“Afala tatafakkarun…” Tidakkah engkau berpikir?

Sebuah kutipan ayat al Quran ini terngiang di kepalaku setelah membaca novel ini. Stigma tentang kaum beragama yang malas berpikir itu ada. Hanya karena orang beragama memiliki kitab suci sebagai pedoman, bukan berarti kita tidak perlu berpikir merenungi dan menelaah isinya. Bukan berarti kita tak perlu mempelajari hal lain dalam hidup.

Novel Atheis mengingatkanku akan pentingnya sebuah prinsip dalam hidup serta kita. Memang kita tidak bisa memaksakan kebenaran hanya dari sudut pandang kita. Akan tetapi, nilai-nilai dalam ajaran agama seharusnya bisa membuat kita berpikir dan menyaring mana yang benar dan mana yang tidak tanpa perlu memaksakan pada orang lain untuk mengikuti kita. Sebuah kebenaran dan kebaikan yang disampaikan dengan penuh kebencian hanya akan melahiran sebuah pemberontakan.

Demikian ulasan novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja ini. Teman-teman pernah membaca novel Atheis? Bagaimana pendapat kalian tentang novel ini?

Satu Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *